KONSEP PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID
(Dalam
Prespektif Pendidikan Islam)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam
Oleh:
M.
Bahrul Ulum
1110032100024
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk
menghindari kesalahan dalam memahami judul skripsi, maka penulis memberikan pengertian
dan batasan skripsi ini, yaitu:
1.
Konsep
Konsep adalah kesan
mental, suatu pemikiran, ide, suatu gagasan yang mempunyai derajat kekonkretan
atau abstraksi, yang digunakan dalam pemikiran abstrak.[1] Dari pengertian di atas, maka konsep yang dimaksud
di sini adalah sejumlah gagasan, pandangan, ide-ide, pemikiran yang dikemukakan
oleh Abdurrahman Wahid berkaitan dengan gagasannya tentang pluralisme.
2. Pluralisme
Pluralisme berasal
dari kata “plural” yang berarti: jamak/banyak. Sedangkan pluralisme itu
sendiri berarti suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu
terdiri dari banyak substansi.[2] Pluralisme juga sering digunakan untuk menunjuk
pada makna realitas keragaman sosial sekaligus sebagai prinsip atau sikap
terhadap keragaman itu. Ramundo Panikar, melihat pluralisme sebagai bentuk
pemahaman moderasi yang bertujuan menciptakan komunikasi untuk menjembatani
jurang ketidaktahuan dan kesalahpahaman timbal-balik antara budaya dunia yang
berbeda dan membiarkan mereka bicara dan mengungkapkan pandangan mereka dalam
bahasanya sendiri.[3]
Pluralisme yang
dimaksud adalah gagasan-gagasan yang dilontarkan Abdurrahman Wahid dalam upaya
menyikapi pluralitas masyarkat dengan perbedaan budaya, agama, etnik, bahasa,
warna kulit dan idiologi-idiologi dari manusia satu dengan yang lainnya.
3. Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid
lahir 7 september 1940
di Jombang, Jawa Timur, dengan nama Abdurrahman Wahid ad-Dakhil. Ia tumbuh dan
berkembang di kalangan keluarga santri. Kakeknya, KH. Hasyim Asy’ari adalah
pendiri NU. Ayah beliau adalah seorang yang pernah menjadi menteri agama
pertama RI yaitu KH. A. Wahid Hasyim.
Abdurrahman Wahid
merupakan tokoh agama, budaya serta tokoh perdamaian, ini terbukti ketika ia
menjabat Presiden WCRP (Wordl Council for Religion and Peace). Tahun
1984 Ia terpilih secara aklamasi menjadi ketua umum PBNU dan pada tahun 1999
terpilih menjadi Presiden RI .
4. Pendidikan Islam
Pendidikan Islam
menurut Abdurrahman an-Nahlawi adalah pengembangan pikiran manusia dan penataan
tingkah laku serta emosinya berdasarkan agama Islam, dengan maksud
mengaplikasikan ajaran agama Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat
yakni dalam seluruh kehidupan masyarakat.[4] Sedangkan menurut Zakiah Daradjat:
“Pendidikan Islam merupakan bimbingan
dan asuhan terhadap anak didik agar dapat memahami kandungan agama Islam secara
keseluruhan, menghayati makna, maksud dan tujuan agama Islam serta dapat
mengamalkannya dan menjadikannya pandagan hidup, sehingga mendatangkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.”[5]
Muh. Fadlil al-Jamil
berpendapat bahwa pendidikan agama Islam adalah suatu upaya mengembangkan,
mendorong serta mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai lebih
tinggi dan kehidupan yang mulia sehingga terbentuk pribadi yang sempurna, baik
yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan.[6]
Dari keseluruhan
pengertian tersebut, pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah proses
pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian, sikap mental, moral dan
etika manusia lewat pemberian pengetahuan dan pengalaman yang sesuai dengan
ajaran Islam.
Dengan penegasan istilah di atas, maka judul: Konsep Pluralisme Abdurrahman Wahid (dalam
prespektif Pendidikan Islam) adalah upaya untuk mencari konsep
pluralisme yang dilontarkan Abdurrahman Wahid kemudian dikaji dan dianalisa
dengan nilai-nilai Islam yang universal. Pemahaman terhadap konsep diharapkan
akan mendapatkan nilai positif dalam pengembangan pendidikan Islam saat ini.
Latar Belakang Masalah
Pembenahan
terhadap pendidikan Islam adalah suatu keharusan. Dalam beberapa dekade
pendidikan hanya merupakan upaya pemerintah untuk melanggengan kekuasaan. Hal
ini terlihat ketika Soeharto berkuasa dengan paradigma otoriter, diskursif dan
dominatif dalam berbagai segi kehidupan bernegara dan berbangsa. Berbagai perbedaan
pandangan ditekan dan dikikis dan terkadang dianggap melawan pemerintah,
sementara Islam sendiri sebenarnya menentang status quo yang tidak membawa
perbaikan.
Runtuhnya rezim orde baru memberikan angin segar bagi
alam demokrasi di Indonesia .
Kebebasan yang sekian lama berada di balik tirai besi akhirnya lepas juga,
namun kebebasan bukan berarti bebas tanpa aturan dan norma. Berbagai macam
kerusuhan dan tindakan main hakim sendiri dengan dibungkus “kertas” persoalan
sosial ekonomi, politik dengan nuansa suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA) yang cukup kental di berbagai belahan Indonesia misal: kerusuhan Poso,
kerusuhan Sampit dan lainnya. Perbedaan pandangan, suku, ras dan agama kadang
dijadikan alasan untuk pembelaan diri. Fenomena ini sangat disayangkan dan
menandakan bahwa masyarakat telah kehilangan jati dirinya sebagai manusia yang
berkemanusiaan dan berbudi. Penghormatan atas keberagaman belum dijunjung
tinggi.
Pendidikan merupakan agen perubahan kebudayaan (cultural
broker) bagi masyarakat sekitar, mau atau tidak pendidikan Islam harus
melakukan pembenahan. Hal ini merupakan tugas berat, di satu sisi kehidupan
modern menuntut kemampuan intelektual untuk merespon secara positif dan kreatif
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi tanpa harus melepaskan diri dari
substansi dan prinsip-prinsip universal agama. Pluralitas masyarakat Indonesia ,
di sisi lain, juga menuntut sikap keberagamaan yang inklusif dan toleran.
Dengan menggunakan paradigma kontekstualisasi pemikiran klasik, sikap-sikap itu
–yaitu respon positif dan kreatif terhadap perubahan dan sikap keberagamaan
yang inklusif dan toleran- bisa diekspresikan secara nyata oleh Abdurrahman
Wahid. Ia merupakan seorang tokoh budaya, agama, serta politikus yang mampu
mempeluangi keragaman sekaligus seorang manusia yang mampu “menikmati”
keragaman itu.
Abdurahman Wahid salah satu tokoh yang peduli akan
tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada suatu pola hidup
berdampingan secara damai, karena hal ini masih sangat rentan terhadap munculnya
kesalahpahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa
menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu, penghargaan terhadap pluralisme
berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus
sehingga kelompok yang satu dengan yang lain memberi dan menerima (take and
give) serta bagaimana Islam memandang Islam, ummah, jama’ah, ra’iyah,
imamah, ukhuwah dan seterusnya.
Ketidakpastian moral dan spiritual serta masih
meluasnya sikap memandang segala sesuatu dari satu sudut pandang, dan itu pun
umumnya berdasarkan kepentingan masing-masing. Harus ada kerendahan hati (humility)
bahwa keunggulan komparatif yang dimiliki ajaran Islam hanya berguna apabila
digunakan untuk kepentingan keseluruhan umat manusia, bukan hanya untuk
kepentingan umat Islam itu sendiri. Belum berkembang wawasan keagamaan yang
mengolah ajaran agamanya secara utuh, sehingga yang dicapai hanyalah
“pendalaman” wawasan keagamaan yang yang bersifat parsial: “keagungan” agama
melalui kuantitatif. Kalaupun diberlakukan ukuran kualitatif, hanyalah dalam
dimensi normatif, seperti ketakutan akan dekadensi moral para remaja, erosi
ukhuwah (persaudaraan) di kalangan sesama muslim. Kebenaran teologis serba
mutlak dari ulama dijadikan satu-satunya acuan, dengan melupakan kebenaran
nisbi dari semua agama dalam pandangan sejarah sebagai tolok ukuran universal.
Menurut Abdurrahman Wahid kelemahan “pendidikan
alternatif” yang ditawarkan oleh Paulo Friere masih bersifat politis dalam
konteks konfrontatif terhadap kekuasaan sehingga berkecenderungan memberontak
kepada kekuasaan yang ada dan dengan sendirinya akan membawa kepada “pukulan
balasan” dari kekuasaan itu dan ini tidak sesuai dengan sifat masyarakat
Indonesia yang tidak mudah menerima paradigma “pertentangan kelas” atau “atas bawah”.
Sedangkan prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif sebagai tokoh Muhamadiyyah juga
mengatakan bahwa Paulo Friere hanya mampu menjawab freedom from what? akan
tetapi belum bisa menjawab freedom for what? padahal ini sangat penting
bagi orang yang beragama, karena kita tidak hanya terikat oleh kepentingan
dunia akan tetapi juga mempunyai keterikatan yang organik dengan dimensi spiritual
transendetal yang memungkinkan manusia berdialog secara intens dengan yang
Tidak terhingga dan pendidikan Islam merupakan alternatif.[7]
Abdurrahman Wahid mencoba tidak hanya menggunakan
hasil pemikiran Islam tradisional namun lebih pada penggunaan metodologi teori
hukum (ushul al-fiqh) dan kaidah-kaidah hukum (qawaid fiqhiyah)
serta pemikiran kesarjanaan Barat dalam kerangka pembuatan suatu sintesis untuk
melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual.[8]
Seperti ditegaskan Nurcholish Madjid suatu generasi tidak bisa secara total
memulai upaya pembaharuan dari nol, melainkan mesti bersedia bertaqlid, yang berarti
melakukan dan memanfaatkan proses akumulasi pemikiran-pemikiran masa lalu.[9]
Namun, warisan-warisan masa lalu tidak sekedar dihargai, tetapi sekaligus harus
dihadapi secara kritis agar lahir pemikiran-pemikiran kreatif. Tanpa adanya
pengahargaan terhadap warisan keilmuan klasik maka proses pemiskinan kultural
akan terjadi.
Suatu keharusan bagi umat Islam jika dididik untuk
mengenal dinamika sosial, kultural, politik, perokonomian, dan dinamika
edukasinya sendiri. Mereka harus dididik untuk bisa mendialogkan kemaslahatan
umat dan hak demokratisasinya serta diberi kesempatan dengan menghilangkan
kesan didekte. Abdurrahman Wahid mengatakan: bahwa sejarah sepenuhnya
menunjukkan bahwa kebesaran Islam bukan karena ideologi atau politik tapi
justru melalui tasawuf, perdagangan, dan pengajaran. Jadi antar tingkat
kualitas pendidikan dan ukhuwah Islamiah dapat menjadi umpan balik.[10] Kalau
tingkat pendidikan seseorang tinggi atau cara berpikirnya demokratis, tidak
mudah menghakimi dan mampu menempatkan perbedaan pendapat sebagi kawan berpikir,
maka umat Islam yang demikian akan semakin banyak memperoleh nilai tambah dalam
hidupnya dan sejumlah alternatif untuk menemukan kebenaran dan memecahkan
berbagai problem sosial krusial.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat ditarik rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Seperti apa konsep pluralisme menurut Abdurrahman Wahid?
2. Bagaimana konsep pluralisme Abdurrahman Wahid dalam prespektif
pendidikan Islam?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui konsep
pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme.
b. Untuk mengetahui konsep
pluralisme Abdurrahman Wahid dalam prespektif pendidikan Islam.
2. Kegunaan penelitian
a. Memberikan sumbangan pemikiran
dan dokumentasi yang dapat dijadikan masukan bagi antisipasi problem pendidikan
saat ini.
b. Dapat menjadi pijakan atau
pertimbangan dalam mempelajari dan membenahi pendidikan Islam. Terutama problem
pendidikan Islam yang sifatnya mendasar dan aktual.
Kerangka Teoritik
Pluralisme
Kemajemukan bangsa Indonesia baik suku, ras, agama
maupun perbedaan pandangan dan pendapat dalam melihat realitas merupakan
kekayaan dan kebanggaan tersendiri yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun
dengan keragaman akan perbedaan itu sering membawa kepada disintegrasi bangsa,
karena truth claim dari kelompok satu kepada kelompok lain akan memicu
perang ide dan ujung-ujung sampai pada perang fisik. Untuk mengindari hal itu
maka diperlukan kearifan, toleransi, tenggang rasa, dan dialog antar masyarakat
(jangan dilupakan kita sebagai bangsa terlanjur heterogen dan pluralistik).
Secara prinsip Islam sempurna. Namun ketika Islam
dijabarkan secara operasional maka masih harus merambah lagi. Dengan munculnya
kelompok intelektual yang serba mau memformalkan Islam dikuatirkan Islam akan
kehilangan relevansinya[11]
sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Keunggulan komparatif yang dimiliki
ajaran Islam hanya berguna apabila digunakan untuk kepentingan keseluruhan umat
manusia. Hal ini terlihat dalam lima
buah jaminan Islam terhadap masyarakat baik secara perorangan maupun sebagi
kelompok yaitu:
a. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar
ketentuan hukum.
b. Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan
untuk berpindah agama.
c. Keselamatan keluarga dan keturunan.
d. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum
dan keselamatan profesi.[12]
Sedangkan Alwi Shihab mempunyai pandangan tentang
pluralisme yaitu Pertama, pluralisme tidaklah semata-mata menunjuk pada
kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun keterlibatan secara aktif terhadap
realitas majemuk tersebut. Hal ini akan melahirkan interaksi positif. Kedua,
pluralisme bukan kosmopolitanisme karena kosmopolitanisme menunjuk pada suatu
realitas dimana keanekaragaman agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu
lokasi, namun interaksi positif yang berkembang di dalamnya sangat minim dan
malah tidak ada sama sekali. Ketiga, pluralisme tidak sama dengan
relativisme karena konsekuensi dari relativisme agama adalah munculnya doktrin
bahwa semua agama adalah sama, hanya didasari pada kebenaran agama walaupun
berbeda-beda satu sama lain tetapi harus diterima. Seorang relativisme tidak
mengenal adanya kebenaran universal yang ada pada agama. Keempat,
pluralisme agama bukan sinkretisme yakni untuk menciptakan agama baru dengan
mengabungkan unsur-unsur tertentu dari beberapa agama menjadi satu integral
dalam agama baru.[13]
a.
Sikap ekslusif: dalam pandangan ini setiap kelompok menyatakan
pandanganya yang paling benar, superior dan satu-satunya jalan keselamatan
hanya milik kelompoknya, sedangkan di luarnya tidak ada keselamatan, tidak
benar dan inverior serta harus dimatikan. Dalam pola ini konflik dan kekerasan
tidak dapat dihindari karena setiap kelompok merasa superior dan yang paling
benar. Hubungan yang terjadi antara kelompokpun merupakan relasi-konflik dan
klaim-kalim kebenaran bersifat absolut adanya.
b.
Sikap inklusif: dalam pola ini masing-masing kelompok berusaha menahan
diri dan menghindari konflik. Sikap menghormati, toleransi dan dialogpun sudah
berjalan meskipun besifat sederhana. Kelompok lain tidak dilihat sebagai
ancaman dan masing-masing kelompok diberi kebebasan untuk melakukan
peribadatan. Dalam pola ini belum ada saling menerima pendapat positif dari
kelompok lain.
c.
Sikap paralesisme/pluralis: paradigma ini percaya bahwa setiap agama
mempunyai jalan keselamatan. Perbedaan agama maupun budaya tidak mengalangi
proses dialog dan kerjasama antara mereka. Proses dialog dimaksudkan untuk
saling mengenal dan saling menimba pengetahuan dan mencari persamaan-persamaan
dalam rangka menyelesaikan masalah bersama seperti, keadilan, HAM, kemiskinan,
kebodohan dan sebagainya serta melakukan kerjasama. Dalam tujuan dialog bukan
berusaha mencari benar atau salah tetapi yang terpenting adalah mencari titik
temu. Dan kebenaranpun bersifat relatif, sikap pluralis merupakan pengembangan
yang lebih liberal dari sikap inklusif.[15]
Masing-masing kelompok berusaha saling mengoreksi dirinya dan kesediaan untuk
menerima pendapat kelompok lain secara rasional dan profesional serta memandang
kelompok lain sebagi patner.
Pendidikan Islam
Tugas yang diemban oleh pendidikan adalah
mewariskan nilai-nilai luhur budaya kepada peserta didik sebagai upaya membentuk
kepribadian yang intelek serta bertanggung jawab. Dengan kata lain pendidikan
merupakan usaha pewarisan nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu masyarakat
kepada generasi selanjutnya. Dengan melalui pendidikanlah nilai-nilai luhur
tersebut termasuk didalamnya nilai-nilai luhur agama, idiologi, budaya dari
suatu bangsa akan ditransformasikan kepada generasi penerus dan menjadi bagian
dari kepribadiannya. Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan Islam
sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
a. Hakikat dari Pedidikan Islam
Istilah pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam,
masih diperdebatkan berbagai pakar. Setidaknya pengertian “pendidikan” mengacu
dari 3 kata dasar yaitu: tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.[16]
Ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda, adapun tarbiyah
mengandung arti suatu proses menumbuh kembangkan anak didik secara bertahap dan
berangsur-angsur menuju kesempurnaan, sedangkan ta’lim merupakan usaha
mewariskan pengetahuan dari generasi tua kepada generasi muda dan lebih
menekankan pada transfer pengetahuan yang berguna bagi kehidupan peserta
didik. Istialah ta’dib merupakan usaha pendewasaan, pemeliharaan dan
pengasuhan anak didik agar menjadi baik dan mempunyai adab sopan santun sesuai
dengan ajaran Islam dan masyarakat.[17]
Ketiga istilah ini harus dipahami secara bersama-sama karena ketiganya
mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta
lingkungan dalam hubungannnya dengan Tuhan dan saling berkaitan satu dengan
yang lain.[18]
Dalam hal ini para tokoh pendidikan Islam telah
mendefinisikan tentang hakikat pendidikan Islam. Pendidikan Islam menurut Hasan
Langgulung adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan,
memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi
manusia untuk beramal di dunia dan memetiknya hasilnya di akhirat”.[19]
Senada dengan hal ini Ahmat D. Marimba mendefinisikan Pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran Islam.[20]
Secara lebih rinci M. Yusuf al-Qordlowi mengatakan
bahwa Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhya; akal dan hatinya;
rohani dan jasmaninya; akhlaq dan ketrampilannya. Karena itu Pendidikan Islam
menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya
untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan
pahitnya.[21]
Secara lebih teknis Endang Saifudin Anshari
memberikan pemaknaan bahwa Pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan,
usulan, tuntutan) oleh subyek didik (guru) terhadap perkembangan jiwa
(perasaan, pikiran, kemauan, intuisi), dan raga obyek didik (siswa) dengan
bahan-bahan materi tertentu, pada jangka tertetu, dengan metode tertentu dan
dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai
evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[22]
Pengertian di atas lebih cenderung memberikan arti
bahwa proses pendidikan (Islam) merupakan “bimbingan” kepada anak didik, bukan
mempunyai konotasi otaritatif dari pihak guru. Dengan bimbingan anak didik
lebih memiliki ruang gerak yang luas sehingga dapat mengaktualisasikan potensi
diri, sedangkan posisi guru hanyalah sebagai fasilitator.[23]
Karena beragamnya siswa dengan karakter kejiwaan yang berbeda antara siswa satu
dengan lainnya, maka sekolah haruslah mampu menciptakan suasana yang dapat
menumbuh kembangkan daya kreativitas siswa dengan segala perbedaannya.
Pendidikan yang bebas dari diskriminasi dan primordial (tanpa membedakan latar
belakang keluarga, siswa, dan jenis kelamin serta warna kulit).
b. Tujuan Pendidikan Islam
Sebelum kita mengetahui tujuan pendidikan Islam maka
seyogyanya kita cari dahulu tentang tujuan hidup manusia karena tujuan
pendidikan merupakan cerminan tujuan hidup manusia. Adapun tujuan pendidikan
itu berbeda-beda sesuai dengan pemahaman seseorang berkaitan dengan arti hidup.
Oleh karena itu tujuan hidup pasti berbeda antar orang komunis dengan agamawan
dan itu mempengaruhi tujuan pendidikan yang diselenggarakannya.
Adapun menurut pandangan Islam tujuan pendidikan
sangat diwarnai dan dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Allah. Adapun tujuan
pendidikan Islam yaitu: menciptakan pribadi-pribadi yang selalu bertaqwa kepada
Allah, dan dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.[24]
Para pakar Islam telah merumuskan tujuan
pendidikan antara lain: Ahman D. Marimba mengatakan bahwa tujuan pendidikan
adalah membentuk manusia berkepribadian muslim. Sedangkan konferensi
Internasional pertama 1977 di Makkah telah menghasilkan rumusan tujuan
pendididkan Islam sebagai berikut:
“Pendidikan
bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara
seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional; perasaan
dan indera. Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam
segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa,
baik secara individual mapun kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah
kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak
pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi,
komunitas, maupun seluruh umat manusia.”[25]
Dari rumusan Makkah di atas dapat ditarik sebuah
asumsi bahwa pertama, pendidikan Islam menumbuhkan daya kreatifitas, daya
kritis dan inovatif sehingga potensi dasar yang dimiliki anak dapat tumbuh
dengan optimal. Kedua, pendidikan Islam merupakan proses bimbingan dan
pendampingan peserta didik dengan nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai
kemanusiaan, dengan demikian akan terbentuk generasi yang beriman sekaligus humanity.
Yang dimaksud generasi berketuhanan yaitu manusia berpegang teguh dengan ajaran
Allah[26]
dan rasulNya, sedangakan berkemanusiaan yaitu suatu kemampuan adaptasi dengan
lingkungan sekitar. Dengan kata lain tujuan pendidikan Islam menyangkut fungsi
manusia sebagai makhluk sosial maupun individu.
Omar Muhammad at-Taomi asy-Syabany mengatakan bahwa
pendidikan Islam merupakan proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan
pribadi, masyarakat dan alam sekitar dengan cara pengajaran. Sebagai suatu
aktivitas asasi dan sebagai suatu profesi di antara profesi-profesi asasi dalam
masyarakat sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia untuk
lebih maju dalam melandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia,
sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna baik yang berkaitan dengan akal,
perasaan dan perbuatan.[27]
Dengan mengacu dari beberapa tujuan pendidikan di atas dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa pendidikan Islam memiliki prinsip dasar, yaitu:
1) Prinsip menuju kesempuraan manusia, yaitu menciptakan manusia
dengan tingkat keimanan dan keilmuan yang merupakan dambaan setiap masyarkat.
Hal ini sesuai dengan landasan normatif Islam, yaitu surat al-Mujadilah ayat 11[28].
2) Prinsip etika dan moralitas yang tinggi. Nilai moral ini diambil
dari al-Qu’an dan akhlaq yang dicontohkan nabi Muhammad.[29]
3) Pendidikan merupakan pengembangan potensi manusia sesuai dengan
fitrohnya. Dengan demikian akan tercipta manusia yang kritis, kreatif dan
inovatif dengan profesionalitas tinggi.
c. Metodologi Pendidikan Islam
Dalam sistem pendidikan, metodologi merupakan unsur
yang sangat penting dan memegang peran kunci bagi keberhasilan dari proses
pembelajaran yang telah direncanakan. Seorang guru dalam menentukan strategi
mengajarnya sangat memerlukan pengetahuan dan penguasaan metodologi, tanpa
penguasaan metodologi yang cukup memadai maka seorang guru mengalami kesulitan
dalam mentrasfer knowledge dan value kepada siswa. Metode dalam
hal ini menurut M. Arifin mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya
mencapai tujuan, karena ia menjadi sarana yang membermaknakan materi pelajaran
yang tersusun dalam kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat
dipahami atau diserap oleh peserta didik menjadi pengertian-pengertian yang
fungsional terhadap tingkah laku.[30]
Sedagkan Zakiah Daradjat berpendapat bahwa metode
hendaknya disajikan dengan cara membantu siswa dalam menyelesaikan kegoncangan
jiwanya dan tanpa mengindahkan perasaan serta pikirannya.[31]
Dengan kata lain penyampaian materi pelajaran agama hendaknya melalui
pendekatan psikologis. Ranah hati-lah yang seharusnya disentuh, dengan demikian
mereka akan termotivasi dan ingin mengetahui lebih jauh.
Adapun metode pengajaran itu banyak sekali jenisnya
dan tidak ada satupun metode yang paling cocok dipergunakan untuk semua materi
pelajaran dan dalam semua situasi.[32]
Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu kepiawean
guru sangat dibutuhkan dalam memilih dan menentukan metode yang akan digunakan.
Semakin guru mampu mengurangi kelemahan dalam menggunakan metode maka akan
semakin tinggi tingkat efisiensi dan efektifitas dari proses pengajaran itu.
d. Kurikulum: Materi Agama Islam
Kurikulum, silabus, materi merupakan bahan pelajaran
yang disusun sesuai dengan tingkat perkembangan kejiwaan peserta didik. Dalam
pendidikan, materi pelajaran mempunyai kedudukan sangat urgen, karena berkaitan
substansi dari pendidikan itu. Dengan demikian muncul pertanyaan: apakah materi
pendidikan agama sudah menyentuh isu pluralitas agama dan budaya serta
kemanusiaan? Dan sudahkah materi digodok dengan melibatkan berbagai kalangan
secara menyeluruh dengan melibatkan guru, tokoh agama, dan para pakar
pendidikan ataukah hanya disusun oleh para birokrat. Dan apakah perguruan
tinggi -yang merupakan tempat mengodok guru-guru agama- sudah membekali
sarjananya dengan nilai-nilai universal dan kemanusiaan dengan dan serta
mengingat pluralitas masyarakat Indonesia
yang kompleks. Seandainya belum, bagaimana dengan nasib peserta didik di
sekolah-sekolah.
Telaah Pustaka
Berdasarkan penelusuran
yang kami lakukan belum ada skripsi yang berjudul: “konsep pluralisme menurut
Abdurrahman Wahid dan implikasinya dalam pengembangan pendidikan Islam”, namun
bukan berarti belum ada yang menulis tentang Abdurrahman Wahid. Adapun mereka
yang telah meneliti tokoh ini antara lain yaitu saudari Atin Hasanah dengan
judul skripsi “pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pembaharuan pendidikan Islam
di pesantren 1970-1999”, skripsi banyak membahas tentang sistem pendidikan yang
diterapkan di pesantren dan kritik terhadap pesantren untuk memasukkan pelajaran
ketrampilan serta seyogyanya kiai dan santri berdialog.
Pemikiran Abdurrahman
Wahid telah dibahas dalam skripsinya Muhlisin, fakultas Ushuludin, Jurusan
Perbandingan Agama dengan judul “Islam Substansial dalam Pemikiran Abdurrahman
Wahid”. Di sini Muhlisin menyoroti pemikiran Abdurrahman Wahid tentang sosial
ethik, pribumisasi Islam, pluralisme, hubungan antar agama dengan negara. Di
sini diungkapakan bahwa sosok Abdurrahman Wahid adalah mempunyai pemikiran
pemisahan antara antara dimensi ritual dan sosial, sangat apresiatif dengan
budaya lokal serta tokoh pembaharu dalam menafsirkan dan membongkar
simbol-simbol agama yang mengalami stagnasi tanpa mengubah esensi ajaran agama
dan Islam tidak punya konsep kenegaraan yang definitif.
R. Masrur Akhmadi mahasiswa
ushuluddin jurusan Perbandingan Agama dalam skripsinya yang berjudul “Pemikiran
Abdurrahman Wahid tentang Hubungan antar Umat Beragama” juga menyoroti
pemikiran Abdurrahman Wahid tentang bentuk hubungan antar umat beragama yang
kondusif. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid Hubungan antar umat beragama harus
berada pada dataraan baru yaitu berupa pelayanan agama pada warga masyarakat
tanpa memandang golongan, agama dan ethnis tertentu. Bentuk yang bisa
dikembangkan adalah pelayanan
kemanusiaan bersama seperti penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan
hukum dan kebebasan berpendapat.
Berbeda dengan penulis
melihat konsep pluralisme Abdurrahman Wahid yang menjunjung tinggi manusia hak
asasi manusia dan serta pelestarian terhadap kultur asli orang Indonesia yang
sekaligus mempunyai basis pendidikan pesantren liberal, sehingga membawa
terhadap pembaharuan pendidikan Islam saat ini.
Metode Penelitian
Metode (Yunani= Methodos) artinya cara atau
jalan. Metode merupakan cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran
ilmu pengetahuan yang bersangkutan.[33]
Metode penelitian ialah cara kerja meneliti, mengkaji dan menganalisis objek
sasaran penelitian untuk mencari hasil atau kesimpulan tertentu.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis Library Research[34],
yaitu suatu cara kerja yang bermanfaat untuk mengetahui pengetahuan ilmiah
dari suatu dokumen tertentu atau berupa literatur lain yang dikemukakan oleh
para ilmuwan terdahulu dan ilmuwan di masa sekarang.
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan filosofis dan historis. Pendekatan filosofis digunakan untuk
merumuskan secara jelas hakekat yang mendasari konsep-konsep pemikiran.[35]
Lebih lanjut pendekatan filosofis dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji
secara mendalam problem krusial yang dihadapi pendidikan Islam diantaranya:
ekslusifitas, intoleransi, diskriminasi terhadap orang lain kebetulan berbeda
paham serta paradigma pendidikan yang sentralistik. Dengan harapan ditemukan solusi untuk perbaikan lebih
lanjut.
Sedangkan pendekatan historis dimaksudkan untuk
mengkaji, mengungkap biografi, karya serta corak perkembangan pemikirannya dari
kacamata kesejarahan, yakni dilihat dari kondisi sosial politik dan budaya pada
masa itu.[36]
3. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian
ini tergolong penelitian pustaka yang bersifat kualitatif, maka data yang
digunakan dalam penelitian diperoleh dari dokumen-dokumen atau transkip yang
telah ada. Adapun data penelitian ini dibagi menjadi menjadi dua, yaitu:
a. Data primer, yaitu data yang berupa
pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid secara langsung yang telah tertuang dalam
bentuk tulisan-tulisan, baik berupa buku yang ia tulis sendiri maupun yang
diedit oleh orang lain, artikel, makalah dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya. Misalnya,
buku: 1) Islam di tengah pergulatan sosial, 2) Pergulatan negara, agama dan
kebudayaan, 3) Memahami demokrasi, 4) Kiai nyentrik membela pemerintah, 5)
Prisma pemikiran Gus Dur, 6) Tuhan tidak perlu dibela, 7) tabayyun Gus Dur, 8)
Muslim di tengah pergumulan.
b. Data sekunder,
yaitu data yang berupa bahan pustaka yang memiliki kajian yang sama yang
dihasilkan oleh pemikir lain, baik yang berbicara tentang gagasan Abdurrahman
Wahid maupun gagasan mereka sendiri yang membicarakan masalah yang terkait dalam
penelitian ini. Sehingga ini dapat membantu memecahkan permasalahan yang
menjadi fokus penelitian skripsi ini.
Metode yang
digunakan dalam mengumpulkan data-data tersebut ialah dengan metode
dokumentasi, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan mencari data mengenai
hal-hal atau variable yang berupa teks, catatan transkip, bahan-bahan
dan lain sebagainya.[37]
3. Metode Analisis Data
Setelah data-data
penelitian terkumpul, maka langkah selanjutnya penulis menentukan metode
analisis. Metode analisis yang digunakan ialah Content Analysis (analisis
isi), yaitu upaya menafsirkan ide atau gagasan “pluralisme” dari seorang tokoh
Abdurrahman Wahid, kemudian ide-ide tersebut dianalisa secara mendalam dan
seksama guna memperoleh nilai positif untuk menjawab masalah krusial pendidikan
agama Islam saat ini. Dengan menggunakan metode content analysis maka
prosedur kerja yang peneliti lakukan
adalah sebagai beriut:
a. Menentukan karakteristik pesan, maksudnya adalah pesan dari ide
konsep pluralisme yang digagas oleh Abdurrahman Wahid. Selanjutnya, mencoba
melakukan pemahaman yang mendalam apakah dari konsep tersebut berimplikasi
terhadap pengembangan pendidikan Islam.
b. Penelitian dilakukan secara sistematis, artinya dilakukan tidak
saja melihat ide pemikiran Gus Dur, tetapi juga melihat kondisi masyarakat
ketika ide tersebut muncul. Oleh karena itu untuk masuk kepada konsep
“pluralisme”, perlu bagi penulis untuk melihat secara kronologis munculnya ide
“pluralisme” yang digagas oleh Abdurrahman Wahid tentunya dengan tidak mengabaikan
latar belakang kehidupan serta pendidikan yang ditempuh oleh seorang
Abdurrahman Wahid. Selanjutnya, setelah mengetahui inti konsep tersebut penulis
melakukan penelitian lanjutan dalam rangka menjawab problem krusial pendidikan
Islam.
c. Langkah terakhir dari penelitian ini adalah menarik kesimpulan
sementara, karena harapan penulis penelitian ini akan ditindak lanjuti oleh
peneliti lain mengingat Abdurrahman Wahid masih memungkinkan untuk mengeluarkan
ide-ide barunya berkaitan dengan fokus penelitian ini.
Adapun pola berpikir
yang digunakan penulis dalam menarik kesimpulan ialah pola berpikir: Induktif,
yaitu pola pemikiran yang berangkat dari suatu pemikiran khusus kemudian
ditarik generalisasi yang bersifat umum.[38]
Pokok-pokok pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme dianalisa satu per
satu kemudian ditarik sebuah kesimpulan yang bersifat umum sebagai sebuah
generalisasi dari corak pemikiran Abdurrahman Wahid. Pola berpikir deduktif,
yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus.[39]
Model penalaran ini digunakan ketika menganalisa satu konsep pemikiran
Abdurrahman Wahid dengan mengemukakan berbagai data-data serta logika-logika
untuk sampai pada satu konsep tersebut.
Sistematika Pembahasan
Penelitian ini
secara garis besar tertuang dalam lima
Bab, di mana antara satu bab dengan bab lainnya memiliki keterkaitan yang
runtut, sistematis dan logis. Untuk memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini,
maka penulis membagi dalam beberapa bab, yaitu:
Bab I berisi
pendahuluan yang dimulai dengan menjelaskan istilah-istilah kunci yang termuat
dalam judul skripsi ini sebagai sebuah penegasan akan makna yang penulis maksud
dari judul tersebut agar tidak terjadi kesalah pahaman. Selanjutnya membahas
latar belakang secara berturut, rumusan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan
dan kegunaan penelitian, kerangka teori, telaah pustaka, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab II Penulis
memperkenalkan sosok Abdurrahman Wahid mencakup: latar belakang keluarga, latar
belakang pendidikan, perjalanan organisasi, karya-karya intelektual dan yang
terakhir paradigma pemikirannya
Bab III adalah bab yang mengupas konsep pluralisme
dalam pandangan Abdurrahman Wahid. Pada bab ini meliputi: pluralisme dalam
konteks ke-Indonesia-an, konsep pluralisme Abdurrahman Wahid yang meliputi:
Pribumisasi Islam, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, Prinsip humanis
dalam pluralitas masyarakat, Prinsip keadilan dan egaliter.
Bab IV merupakan
bagian inti dari penelitian skripsi ini. pluralisme dalam pandagan Islam,
potret: masyarakat dan pendidikan Islam di Indonesia, dan pluralisme dalam
pendidikan Islam: sebuah analisa serta reorientasi paradigma pendidikan Islam
Bab V adalah bab
terakhir yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan dan saran-saran
yang ditujukan untuk para pemerhati pendidikan serta seluruh pembaca karya ini.
BAB II
BIOGRAFI
ABDURRAHMAN WAHID
Latar Belakang Keluarga Abdurrahaman Wahid
Abdurrahman Wahid, seorang tokoh fenomenal dengan
gayanya yang unik dan khas serta sepak-terjangnya yang kontroversial. Ia akrab
dipanggil dengan nama Gus Dur: Gus merupakan nama kehormatan yang diberikan
kepada putra kiai yang berarti mas. Adapun nama lengkap Gus Dur adalah
Abdurrahman al-Dakhil[40],
adapun nama Wahid diambil dari nama ayahnya Wahid Hasyim. Dalam komunitasnya
Abdurrahman Wahid dipandang sebagai “pangeran” yakni cucu dari kian
Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan dinisbatkan sebagai pewaris kedua organisasi
keagamaan Islam terbesar di dunia.[41]
Setiap tanggal 4 agustus teman-teman dan keluarganya
menghadiri pesta ulang tahunnya. Entah disadari atau tidak oleh teman-temanya
bahwa tanggal itu bukanlah tanggal kelahirannya, ia sebenarnya dilahirkan pada
4 sya’ban atau 7 september
1940 . Gus Dur dilahirkan di kota
Jombang-Jawa Timur[42]
tepatnya di Denanyar yaitu: dalam rumah kakek dari pihak ibunya kiai Bisri Syamsuri.
Kota Jombang yang terkenal dengan daerah tapal kuda yang merupakan basis pondok
pesantren (kalangan Islam tradisonalis) dan pusat warga nahdiyin.
Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara[43]
hasil pernikahan Wahid Hasyim dan Sholichah (putri Kiai Bisri Syansuri). Wahid
Hasyim adalah menteri Agama RI
pertama[44]
rezim Soekarno dan aktif dalam panitia sembilan perumusan piagam Jakarta .[45]
Adapun kakek Gus Dur adalah pendidiri NU yaitu KH Hasyim Asy’ari, salah satu
organisasi keagamaan Islam ternama dengan jumlah pengikut terbesar di Indonesia
bahkan di dunia. Gus Dur hidup dalam setting lingkungan pesantren (santri-sunni)
yang terbiasa dengan kehidupan agama, penuh dengan etika moral dan keterbukaan
untuk mengutarakan gagasan dan keinginan apalagi bagi seorang anak kiai: apapun
keinginannya harus dituruti oleh para santrinya. Paradigma berpikir yang
berkembang di kalangan warga NU saat itu cenderung ortodok dan konservatif
serta puritan, namun lain halnya dengan Gus Dur mempunyai kemampuan melebihi
kemampuan orang biasa. Ia tidak hanya melintasi komunitasnya tetapi ia mampu
melewati batas agama, budaya dan etnis sampai tidak ada sekat-sekat yang dapat
membatasinya dan jarang sekali tokoh seperti ini, bahkan ia sering mendapatkan
cercaan dan tudingan dari Islam garis keras dan kelompoknya sendiri.
Masa kanak-kanak Gus Dur dihabiskan dalam lingkungan
pesantren milik kakeknya Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng)
dan Kiai Bisri Syamsuri (pendiri pondok pesantren Denanyar). Berkat bimbingan
ibunya, Gus Dur pada usia 4 tahun telah mampu membaca al Qur’an beserta ilmu
tajwidnya dan ditambah lagi dengan kehidupan pesantren yang terbiasa dengan
kitab-kitab kuning yang berbahasa arab tanpa sakal dan arti Indonesia maupun
Jawa. Kemudian di usia 4 tahun, Gus Dur tinggal bersama ayahnya di Menteng
Jakarta Pusat, ketika itu Wahid Hasyim dipercaya mengepalai Shumubu, semacam
kantor utusan agama atas permintaan pemerintah Jepang.[46]
Sejak tinggal di Jakarta bersama dengan ayahnya, Gus Dur
langsung dibimbing oleh ayahnya dan sekaligus mendapatkan wawasan yang cukup.
Dan sejak inilah awal mula ia diperkenalkan dunia yang sangat berbeda dari
kehidupan pesantren yaitu: dunia perkotaan yang cukup kosmopolitan. Belum lagi
didukung oleh kehidupan Wahid Hasyim yang mempunyai banyak relasi dengan
berbagai lapisan masyarakat baik orang pribumi maupun orang luar serta berbagai
tokoh baik dari kalangan agamawan, nasionalis, politikus maupun pemimpin
komunis, termasuk Tan Malaka, Mohammad Hatta, anak muda bernama Munawir Sadzali
(dari kalangan mahasiswa) serta seorang Jerman Williem Iskandar Bueller yang
masuk Islam. Kemanapun ayahnya pergi Gus Dur selalu diajak, sehingga Gus Dur
sejak kecil sudah diperkenalkan dengan kehidupan yang berbeda dengan lingkungan
pesantren di mana ia dilahirkan dan diasuh oleh ibunya. Mulai dari sini Gus Dur
diperkenalkan dengan orang-orang yang mempunyai berbagai ideologi dan latar
belakang yang berbeda dengan dirinya.
Wahid Hasyim sangat menyayangkan melihat cupetnya
pikiran di kalangan masyarakatnya oleh karena itu ia berharap banyak kelak
anak-anaknya lebih-lebih pada putra kesayangannya (Gus Dur) mempunyai pemahaman
yang mendalam dengan berharap nantinya anak-anaknya dapat meneruskan perjuangan
ayahnya. Karena keinginan yang tinggi maka Gus Dur sering diajak dalam
pertemuan-pertemuan ayahnya, dengan harapan mengenalkan terhadap berbagai
realitas dan masyarakat tanpa memilah-milah golongan dan status sosial.
Latar Belakang Pendidikan Abdurrahaman Wahid
Gus Dur dilahirkan di tengah-tengah kehidupan
pesantren yang penuh nuansa etika, moral dan pendidikan agama. Dari sinilah
awal dasar-dasar pendidikan agama ditanamkan oleh Ibunya ketika baru berusia 4
tahun, ilmu al Qur’an dan bahasa Arab pun telah dikuasai meskipun belum lancar.
Ketika menginjak usia 4 tahun Ia mengikuti jejak perjuangan ayahnya di Jakarta dan ia dimasukkan
pada sekolah yang tergolong bonafit namun ia lebih menyukai kehidupan yang
wajar dengan memilih sekolah biasa saja. Gus Dur masuk Sekolah Dasar KRIS
Jakarta Pusat mulai kelas 3-4 tetapi kemudian pindah ke Sekolah Dasar Matraman
Perwari, Jakarta Pusat dekat rumahnya yang baru.[47]
Tempat Wahid Hasyim di Matraman sering dikunjungi
tamu-tamu Eropa, Belanda, Jerman dan kalangan aktivis mahasiswa serta berbagi
lapisan mayarakat. Dengan demikian Gus Dur sejak kecil telah diperkenalkan
dengan tokoh-tokoh besar, dan ayahnya selalu menganjurkan kepada anak-anaknya
untuk giat membaca tanpa membatasi buku apa yang dibaca. Sebagian jenjang
pendidikan formal Abdurrahman Wahid banyak dihabiskan di sekolah-sekolah
“sekuler”.
Setelah ayahnya meninggal, Ibunya mengambil alih
pimpinan keluarga dan membesarkan enam anak-anaknya. Pada tahun 1954 Gus Dur
melanjutkan sekolah di SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama), tinggal bersama
keluarga Haji Junaidi (teman ayahnya dan seorang aktivis Majlis
Tarjih/Penasihat Agama Muhammadiyah) di Kauman Yogyakarta dan untuk melengkapi
pendidikan agama dan guna memperdalam ilmu bahasa arab maka ia mengatur
jadwalnya seminggu 3 kali untuk ngaji dengan Kiai Ali Ma’shum di pondok Al
Munawir Krapyak. Gus Dur adalah anak yang nakal dan bandel, waktunya dihabiskan
untuk nonton sepak bola dan film sehingga tidak ada cukup waktu untuk mengerjakan
pekerjaan rumahnya dan ujung-ujungnya ia harus tinggal kelas. Baginya,
pelajaran yang diterima di kelas dirasanya tidak cukup menantang. Alih-alih , Ia
menghabiskan waktu nonton sepak bola dan membaca buku.
Meskipun kemampuannya dalam berbahasa Inggris sudah
baik dan mampu membaca tulisan dalam bahasa Perancis dan Belanda serta Jerman,
namun di Yogyakarta lah kemampuan membacanya melesat jauh dan melahab banyak
buku antara lain Das Kapital (Karl Mark), What is To Be Done
(Lenin), dan mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles serta ia
tertarik dengan ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti
dalam Infantile Communism (kekiri-kirian penyakit kekan-kananan) dan
dalam Little Red Book-Mao (kutipan kata-kata ketua Mao).[48]
Dengan membaca buku dan berbagai tulisan apa saja yang ditemukan maka cakrawala
pemikirannya akan semakin luas.
Setelah menamatkan SMEP 1957, Kiai Bisri Samsuri
memindahkan Gus Dur –hal ini disebabkan hobinya menonton film yang tidak
ketulungan- untuk mondok di Magelang dan berada dalam asuhan dan bimbingan Kiai
Khudhori pengasuh pondok pesantren Tegalrejo.[49]
Berbeda dengan santri biasa yang menyelesaikan pelajaran selama 4 tahun tetapi
dengan kecerdasan yang dimiliki, Gus Dur mampu menyelesaikan pelajaran dengan
waktu yang relatif cepat yaitu: dalam 2 tahun saja. Dari Kiai Khudhori-lah ia
banyak belajar dunia mistik dan tasawuf.
Pada tahun 1959 Gus Dur dipangil oleh pamannya: Kiai
Haji Fatah, untuk membantu mengelola Pesantren Bahrul Ulum[50],
Tambak Beras Jombang sampai tahun 1963. Selama kurun waktu itu ia menyempatkan
belajar secara teratur dengan kakeknya: Kiai Bisri Samsuri dan mendapatkan
bimbingan dari Kiai Wahab Chasbullah. Pada tahun pertamanya di Tambak Beras, ia
mendapatkan kepercayaan untuk mengajar di pondok ini dan sekaligus dipercaya
menjadi kepala sekolah modern yang dibangun dalam area pondok pesantren. Untuk
mengisi waktu libur kadang-kadang Gus Dur pergi ke Yogyakarta
dan tinggal di rumah Kiai Ali Maksum untuk belajar agama.[51]
Pada tahun 1964 Abdurrahman Wahid tertarik mengambil
beasiswa untuk belajar di Universitas “al Azhar” Kairo (Mesir). Namun kecewa
nampak dalam dirinya karena perlakuan kampus yang memasukannya di kelas pemula,
bersama para calon mahasiswa yang belum mempunyai pengetahuan tentang bahasa
Arab bahkan ada yang sama sekali tidak tahu abjad Arab, apalagi menggunakan
dalam percakapan. Karena rasa kecewa atas perlakuan ini, hampir sepanjang tahun
1964 ia tidak masuk kelas, ujung-ujungnya gagal naik kelas karena waktunya
banyak dihabiskan untuk nonton bioskop, sepak bola dan mengunjungi perpustakaan
-terutama perpusatkaan American University Library- serta waktunya habis di kedai-kedai kopi
untuk diskusi. Keberadaannya di universitas al-Azhar merupakan suatu kekecewaan
baginya, namun sebaliknya kota
Kairo baginya sangat mempesona dan menyenangkan. Kota Kairo banyak memberikan
kebebasan berpikir dan dari al-Azharlah Muhammad Abduh, seorang perintis
gerakan modernisme Islam yang progresif berasal.[52]
Dari al-Azhar Ia pindah ke Universitas Baqdad
di Irak dan memilih fakultas sastra. Gus Dur mempunyai jadwal yang padat
dibandingkan ketika ia berada di Mesir sehingga ia tidak lagi bebas
berjalan-jalan semaunya sendiri dan mau tidak mau ia harus mengurangi kebiasaan
tidak mengikuti kuliah secara teratur, karena kehadiran merupakan hal
wajib. Baqdad merupakan bagian dunia
intelektual yang kosmopolit membuat Gus Dur tumbuh subur sebagai cendikiawan
dan mulai tahun 60-an Universitas ini menjadi Universitas bergaya Eropa.
Ironisnya, banyak dosen favoritnya yang berasal dari Kairo pindah ke Baqdad
karena kota
Baqdad memberikan kebebasan berpikir secara terbuka dan menjanjikan gaji yang
lumayan besar. Meskipun jadwal yang padat tetapi Gus Dur masih sesekali
menyempatkan waktu untuk nonton bioskop dan mengikuti diskusi di pinggir sungai
Tigris sambil minum kopi.
Perjalanan
Organisasi Agama, Sosial, Budaya dan Politik serta bidang pendidikan
Jarang ditemukan seorang tokoh sekaliber Abdurhaman
Wahid, di satu sisi ia adalah seorang kiai (agamis) namun di sisi yang lain ia
penuh dengan rasa humor, ceria, kritis yang terkadang sangat kontroversial
dengan cara-caranya dalam menghadapi kawan dan lawan dan tidak jarang membuat
lawannya kesal dan cengkel atas tingkah laku yang dikakukannya. Dengan
kehumoran, kekritisan dan ide cemerlang bahkan kontroversial serta kemampuannya
dalam beretorika membuat banyak orang kagum dan banyak dari mereka tidak
mengerti, tetapi ia tetap menarik. Sehingga ia mudah beradaptasi dengan orang
yang berada di sekitarnya tanpa memedulikan status sosialnya.
Dengan latar belakang pendidikan pesantren
tradisional yang kaya akan budaya dan hasanah ilmu Islam klasik, didukung oleh
pendidikan timur tengah yang kosmopolitan dan perjalannya di Belanda serta
kemampuannya dalam melobi dan pergaulannya yang tidak membeda-bedakan status
agama, etnik, ras membuat ia banyak diterima oleh berbagai kalangan. Namun yang
paling menarik dari tokoh ini adalah pemikirannya yang liberal, progresif,
inklusif, egaliter serta keseriusannya dalam menegakkan demokrasi, keadilan,
membela hak asasi manusia, meletakkan kepentingan rakyat dan bangsa di atas
segalanya serta tidak kalah pentingnya untuk selalu melakukan pembelaan
terhadap kaum minoritas yang tertindas.
Pada tahun 1971 Gus Dur kembali ke Jombang dan terjun
ke dunia pendidikan dengan menjadi Dosen serta dipercaya menjabat Dekan
Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY yang sekarang dengan
nama IKAHA), sekaligus menjadi sekretaris pondok pesantren Tebuireng milik
pamanya, Kiai Haji Yusuf Hasyim.[53]
Selain menjabat sebagai ketua persatuan mahasiswa ketika studinya di timur
tengah, ia juga aktif menulis artikel, esai, dan kolom di media masa serta
bekerja di kantor kedutaan Indonesia di Mesir. Begitupun tatkala ia menjadi
dosen di Jombang sering mengisi seminar, sarasehan dan menulis untuk berbagai
majalah serta ikut memprakarsasi berdirinya Perhimpunan Pengembangan Pesantren
dan Mayarakat (P3M) bersama dengan beberapa kiai dan aktifis muda NU seperti
Masdar Farid Mas’ud.
Karena keaktifannya dalam P3M maka ia sering
bolak-balik Jombang-Jakarta untuk mengurusi LSM dan ia pun memutuskan
meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen dan menetap di Ciganjur dan mendirikan
pondok pesantren. Pada tahun 1981 ia diangkat sebagai Wakil Katib Awwal
syuriah PBNU menggantikan kakeknya Kiai Bisri Sanyuri.
Selain itu Ia sangat mengandrungi budaya lokal, ilmu
pewayangan, cerita silat, sepak bola dan nonton film. Karena kecintaanya pada
dunia seni maka ia diangkat menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada
tahun 1983 dan juga diangkat menjadi ketua Festival Film Indonesia (periode
1986-1987). Ia memang tergolong kiai yang aneh dan “nyeleh”, apalagi ia
berasal dari kaum Nahdiyin yang tabu akan dunia film. Pada tahun 1984 muktamar
ke-27 Situbondo menetapkan Gus Dur sebagi ketua tanfidziah PBNU dan dipercaya
lagi menjadi ketua PBNU untuk muktamar ke- 28 tasikmalaya dan muktamar ke-29
Yogyakarta. Tiga kali berturut-turut menjabat ketua PBNU menunjukkan ia seorang
kiai yang cerdas, progresif dan karismatik di kalangan warga Nahdiyin khususnya
kaum muda NU. Gus Dur mempelopori agar NU kembali ke kandangnya (NU bukan lagi
organisasi politik namun tidak lebih sebagai lembaga keagamaan dan tidak
melarang jama’ahnya berpolitik). Bagi kalangan muda NU, Gus Dur dianggap
sebagai tokoh yang mampu membebaskan dari ortodoksi dan konservatisme
keagamaan, yang sebagian besar ada pada kalangan tua Nahdiyin. Banyak kalangan
yang menaruh harapan besar dengan terpilihnya Gus Dur menjadi ketua PBNU,
kemampuannya untuk menjembatani kalangan muda dan tua serta hubungan NU dengan
pemerintah dan LSM. Selain itu dengan ide–idenya yang cemerlang dan progresif
mengilhami generasi muda NU untuk progres.
Pada tahun 1990 ICMI menawari Gus Dur untuk masuk
dalam lembaga ini, namun ia menolak dan justru mendirikan forum demokrasi, dan
menuding ICMI sebagai lembaga bikinan penguasa yang berbau sektarian. Forum
Demokrasi merupakan organisasi yang bertujuan menegakkan demokrasi dan
pluralisme. Keanggotaan forum ini tidak terikat dan anehnya lagi sebagian besar
anggotanya bukan dari kalangan muslim dan bukan NU, malah kebanyakan dari
mereka adalah orang protestan, katolik, dan sebagian besar mempunyai latar
belakang sosialis.
Karena kedekatannya dengan kalangan non muslim dan
LSM serta komitmennya terhadap perjuangan penegakan demokrasi dan toleransi
dalam kehidupan beragama di Indonesia sehingga ia mendapatkan kepercayaan
sebagai presiden WCRP (World Council for Religiuon and Peace), anggota
dewan pembina dan pendiri pusat Simon Perez untuk perdamaian (Simon
Perez Peace Centre) serta penasehat International Dialogue Foudation on
Perspective Studies of Syariah and Seculer Law di Den Haag, Belanda. Tidak
ketinggalan pada 31 agustus 1993 sebuah majalah “Nobel Asia” Philipina
memberikan penghargaan Ramon Magsaysay kepada Abdurrahman Wahid. Keith
Loveard dan Dirk Vlasblon yang merupakan koresponden majalah Asiaweek di
Jakarta memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai tokoh terkuat di Asia
pada urutan ke-24 (1996) dan 20 (1997).
Keseriuasnnya dalam penegakan demokrasi dan pembelaan
terhadap kaum minoritas semakin kelihatan nyata. Hal ini nampak jelas atas
tindakan Gus Dur pada awal 90-an yang mengkritik atas kebijakan-kebijakan rezim
Soeharto yang tidak demokratis dan otoriter. Pada tahun 1998 bertempat di
kediaman Gus Dur tokoh-tokoh reformis yaitu: Megawati, Amin Rais, Sultan
Hamengu Buwono X dan Gus Dur untuk membicarakan gerakan reformasi menghasilkan
piagam Ciganjur. Dalam pertemuan ini ada komitmen untuk menegakkan demokrasi
dan mewakili aspirasi rakyat untuk menggulingkan pemerintahan yang sah demi
sebuah perbaikan terhadap Indonesia .
Rezim Soeharto runtuh dan pesta demokrasi mulai
dikumandangan dengan ditandai munculnya partai-partai politik sebagai wujud
kebebasan berorganisasi dan berpendapat di depan umum. Partai Islam bermunculan
dan tidak ketinggalan Gus Dur mendeklarasikan partai kebangkitan bangsa (PKB)
yang banyak didukung oleh kalangan NU. Kemudian pada pemilu tahun 1999 ia
terpilih menjadi presiden mengalahkan rivalnya Megawati Sukarno Putri.
Keberhasilannya duduk dikursi kepresidenaa tidak lepas dari usaha Amin Rais
dari poros tengah.
Karya-karya Intelektualnya
Gus Dur secara kelembagaan tidak pernah mendapatkan
ijazah kesarjanaan namun ia seorang yang cerdas, progresif dan cemerlang
ide-idenya. Tetapi ia telah membuktikan bahwa ia adalah seorang yang cerdas
lewat idenya yang cemerlang dan kepiaweannya dalam berbahasa dan retorika serta
tulisan-tulisanya di berbagai media massa, majalah, esai, dan kegiatan-kegiatan
seminar, sarasehan serta buku-buku yang telah diterbitkan antara lain:
Bunga Rampai Pesantren (Darma Bahkti, 1979)
Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981)
Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LKiS,
1997)
Tabayyun Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1998)
Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999)
Membangun Demokrasi (Remaja Rosda Karya, 1999)
Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara,
2001)
Dari berbagai tulisannya baik buku, makalah dan
esai-isai kompas tahun 90-an menunjukkan tingkat intelektualnya. Dengan bahasa
yang sederhana dan lancar, bahkan dalam penyampaian lisanpun, Gus Dur diakui
sangat komunikatif. Sebagaimana dikatakan Greg Barton meskipun Gus Dur tidak
mengenyam pendidikan –tidak memiliki gelar kesarjanaan- Barat namun berbagai
tulisannya menunjukkan ia seorang intelektual progresif dan jarang sekali
dijumpai foot note dalam berbagai tulisannya. Hal ini dikarenakan
kemampuannya yang luar biasa dalam memahami karya-karya besar tokoh-tokoh dunia
(pemikir dunia seperti: Plato, Aristoteles, Karl Max, Lenin, Max Weber, Snouck
Hugronje, Racliffe Brown, dan Milinowski). Selanjutnya karya-karya tersebut
dieksplorasi secara kritis dan dikolaborasikan dengan pemikiran-pemikiran
intelektual Islam dalam memunculkan ide-ide pemikirannya.[54]
Paradigma Pemikiran
Siapa yang tidak kenal dengan Gus Dur?. Sosok yang
unik penuh ide kontroversial, dengan metode zig zag yang membuat kebanyakan
orang bingung dan kelabakan. Idenya tidak dapat dicerna dengan menggunakan satu
sudut pandang saja. Semua ide dan manuvernya butuh interpretasi, bahkan secara
ekstrim dianologikan sebagai “kitab”[55]
yang butuh penafsiran. Seperti yang dikatakan Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang
kenal Gus Dur sejak masih menjadi mahasiswa -kebetulan keduanya berasal dari
Jombang- sejak muda Gus Dur adalah orang nekad. Ia selalu keluar dari batas
kemampuaannya dan tidak pernah puas dengan jalan yang pasti dan aman.[56]
Jangankan kita, tokoh sekaliber Nur Cholish Madjid
atau Azyumardi Azra pun merasa terengah-engah dan kesulitan memahami sepak
terjangnya, mulai dari sikap, tindakan, ucapan dan pendapatnya baik mengenai
politik, budaya, keagamaan atau respon terhadap realitas yang ada sehingga Cak
Nur menyebut Gus Dur sebagai rahasia Tuhan yang ke empat setelah jodoh,
kematian dan rizki. Bahkan Azyumardi Azra yang menyebut sebagai salah satu dari
delapan keajaiban Tuhan.[57]
Untuk dapat memahami pemikiran Gus Dur Greg Barton
lebih cenderung melihat pada keyakinan religius dan kehidupan batiniahnya[58]
bukan berarti mengenyampingkan kehidupanya secara makro. Latar belakang pondok
pesantren -penuh nilai-nilai Cultural- di mana ia mulai tumbuh dan berkembang
juga mempengaruhi pemikirannya. Dalam konteks ini Abdurrahman Wahid tidak
sekedar menggunakan produk-produk pemikiran Islam tradisonal sebagai hasil
final tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi dalam kerangka
pembuatan sintesis untuk melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab problem
sosial aktual.
Di samping kehidupan pesantren, ia juga diperkenalkan
dengan kelompok-kelompok sosial yang lebih luas. Pendidikan dunia Timur Tengah
yang kosmopolitan –terutama di Bagdaq yang bercorak sekuler dan liberal- secara
langsung ikut mewarnai corak pemikirannya.
Meskipun secara formal ia tidak belajar di Barat, tetapi sejak muda ia
terbiasa dengan pemikiran-pemikiran barat. Oleh karena itu ia lebih siap
bergaul dengan wacana-wacana besar pemikiran barat dan keislaman, dan bahkan
kedua sumber tersebut (Islam dan Barat) dikombinasikan secara kritis-dialektis
sebagai basis yang kemudian membentuk pemikirannya.[59]
Selain itu, ia juga aktif dalam berbagai LSM dan mudah bergaul dengan komunitas
heterogen dari berbagai karakter budaya, etnis, dan agama dengan ideologi yang
berbeda-beda –dari yang konservatif, fundamental, liberal, sampai pada level
sekuler sekalipun.[60]
Hal ini secara signifikan mempengaruhi pola pikir dalam melihat realita.
Sedangkan AS Hikam, seorang peneliti LIPI
mengemukakan pola pemikiran Gus Dur pada dasarnya dapat dipahami sebagai produk
dari tiga kepedulian ulama: pertama, rivitalisasi warisan Islam tradisonal ahlussunnah
wal jama’ah yang komitmen atas kemanusiaan (insaniyah), antara lain
adanya kepedulian yang kuat pada kerukunan sosial (social harmony) dan
sikap inklusif yang ada dalam ajaram Islam. Kedua, wacana modenitas yang
didominasi pemikiran sekuler Barat dan semangat pencerahan (enlightenment).
Gus Dur tetap mengacu pada paham ahlussunah wal jama’ah untuk menyikapi
perkembangan modern dengan sikap terbuka dan kritis untuk mencari titik temu
antara keduanya. Modernitas tidak disikapi dengan kronfontatif tidak seperti apa
yang dilakukan banyak cendikiawan Islam, tetapi secara akomodatif guna
menemukan titik temu yang bermanfaat memecahkan masalah umat, tanpa harus
meningalkan Islam tradisional. Ketiga, Gus Dur selalu berusaha pencarian
jawaban atas tantangan yang dihadapi umat Islam bangsa Indonesia di tengah perubahan yang
amat cepat dari proses globaliasi dan modernisasi.[61]
Greg Barton, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi
memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai Neo-modernis[62]
Islam.[63] Barton
menemukan tema yang dominan dalam pemikiran Gus Dur yaitu tema humanitatianisme
liberal.[64] Tema
liberal secara fundamental mendapat tempat yang besar dalam pemikiran Islam
Abdurrahman Wahid tanpa harus meninggalkan prinsip Islam tradisional[65]
tetapi mensinsentesa keduanya.
BAB III
KONSEP PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID
A. Pluralisme dalam Konteks Ke-Indonesia-an
Sejarah merupakan bukti nyata bahwa bangsa kita
-mulai kerajaan majapahit, mataram, kerajaan sriwijaya, kerajaan Islam Demak
sampai pada lahirnya Indonesia- merupakan bangsa kaya akan budaya, suku, bahasa
daerah, keyakinan dan agama.[66]
Masyarakat telah menyakini sesuatu yang berada di luar diri manusia dan
berpengaruh terhadap hidup manusia yaitu kepercayaan animisme, dinamisme dan
agama Hindu dan Budha yang datang dari India . Islam masuk dengan
ajaran-ajaran pembebasan, pencerahan, tidak ada perbedaan kasta dan dengan
damai Islam tersebar di Indonesia sedangkan di lain pihak agama Budha dan Hindu
telah mewarnai kebudayaan masyarakat saat itu. Dan proses pertemuan antara
kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di masyarakat dengan kebudayaan yang
datang kemudian tidak dapat dihindari. Hal ini juga terjadi pada proses
penyebaran agama, yang tentunya juga diwarnai oleh budaya masyarakat saat itu.
Lambat-laun kultur masyarakat yang telah diwarnai oleh
hinduisme dan budhiisme mengalami proses akulturasi. Proses akulturasi budaya
dan agama yang dalam waktu panjang menyebabkan kesulitan untuk memisahkan mana
unsur budaya dan mana unsur agama, hal ini dikarenakan keduanya saling mengisi.
Manusia tidak dapat beragama tanpa budaya, karena kebudayaan merupakan
kreativitas manusia yang bisa menjadi salah satu bentuk ekspresi keberagamaan.[67]
B.
Konsep Pluralisme
Abdurrahman Wahid
Masyarakat Indonesia yang plural, dengan ragam
budaya, suku, etnis dan agama serta idiologi merupakan kekayaan tersendiri.
Oleh karena itu, keragaman agama, etnis, idiologi ataupun budaya membutuhkan
sikap arif dan kedewasaan berpikir dari berbagai lapisan masyarakat, tanpa
memandang agama, warna kulit, status sosial dan etnis. Tanpa ada sikap saling
curiga dan berprasangka buruk terhadap kelompok lain, kita sebagai bangsa sudah
terlanjur majemuk dan konsekuensinya adalah adanya penghormatan atas pluralitas
masyarakat itu.
Abdurrahman Wahid mengatakan demi tegaknya
pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada suatu pola hidup berdampingan
secara damai, karena hal itu masih rentan terhadap munculnya kesalahpahaman
antar-kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan
disintegrasi.[68] Namun
harus ada penghargaan yang tinggi terhadap pluralisme itu, yaitu adanya
kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok
yang satu dengan yang lain saling take and give.[69]
Latar belakang faham keislaman tradisional –faham
ahlussunnah wal jama’ah- serta pemikirannya yang liberal, Islam menurut
Abdurrahman Wahid harus tampil sebagai pemersatu bangsa dan pelindung keragaman
dan mampu menjawab tantangan modernitas sehingga Islam lebih inklusif, toleran,
egaliter dan demokratis. Nilai Islam yang universal dan esensial lebih
diutamakan dari pada legal-simbolis, Islam mewarnai kehidupan berbangsa dan
bernegara tanpa membawa “embel-embel[70]”
Islam akan tetapi ruh keislaman menyatu dalam wajah nasionalisme, lebih
lanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Pribumisasi Islam
Proses pertumbuhan Islam -sejak nabi Muhammad, sahabat, para
ulama- tidak serta merta menolak semua tradisi pra-Islam (dalam hal ini budaya
masyarakat arab pra-Islam). Tidak seluruh sistem lokal ditolak Islam, tradisi
dan adat setempat yang tidak bertentangan secara diametral dengan Islam dapat
diinternalisasikan menjadi ciri khas dari fenomena Islam di tempat tertentu.[71]
Demikian juga proses pertumbuhan Islam di Indonesia tidak dapat lepas dari
budaya dan tradisi masyarakat.
Agama dan budaya bagiakan uang logam yang tidak bisa
dipisahkan. Agama (Islam) bersumberkan wahyu yang bersifat normatif, maka
cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya merupakan ciptaan manusia, oleh
sebab itu perkembangannya mengikuti zaman dan cenderung untuk selalu berubah.
Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama
dalam bentuk budaya.[72]
Lebih lanjut Ia (Gus Dur) mengatakan:
Tumpang tindih
antara agama dan budaya akan terjadi terus-menerus sebagai suatu proses yang
akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan variasi budaya
memungkinkan adanya persambungan antar berbagai kelompok atas dasar persamaan.
Upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama bukan karena kekhawatiran terjadinya
ketegangan antara keduanya, sebab kalau manusia dibiarkan pada fitroh
rasionalnya, ketegangan seperti itu akan reda dengan sendirinya. Sebagai contoh
redanya semangat Ulama dalam
mempersoalakan rambut gondrong.[73]
Pribumisasi[74]
Islam dalam segi kehidupan bangsa merupakan suatu ide yang perlu dicermati.
Selanjutnya, Gus Dur mengatakan bahwa pribumisasi bukan merupakan suatu upaya
menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan
tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti dari pribumusasi Islam adalah
kebutuhan untuk menghindari polarisi antara agama dengan budaya, sebab
polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.[75]
Gagasan Abdurrahman Wahid ini tampak ingin memperlihatkan
Islam sebagai sebuah agama yang apresiatif terhadap konteks-konteks lokal
dengan tetap menjaga pada realitas pluralisme kebudayaan yang ada. Abdurrahman
Wahid dengan tegas menolak “satu Islam” dalam ekspresi kebudayaan misalnya
semua simbol atau identitas harus menggunakan ekspresi kebudayaan Arab.
Penyeragaman yang terjadi bukan hanya akan mematikan kreativitas kebudayaan
umat tetapi juga membuat Islam teralienasi dari arus utama kebudayaan nasional.
Bahaya dari proses arabisasi adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita
sendiri.[76]
“Kemampuan
orang Islam untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa, dan
bukan berusaha memaksakan agendanya sendiri. Kalau ini terjadi, maka yang
berlangsung sebenarnya hanyalah proses pelarian (eskapisme). Umat
Islam terlalu menuntut syarat-syarat yang terlalu idealistik untuk menjadi
muslim yang baik. ….kecenderungan formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan
masyarakat dan Islamisasi dalam bentuk manifestasi simbolik ini jelas tidak
menguntungkan karena hanya menimbulkan kekeringan subtitusi”.[77]
Bahkan Gus Dur menolak adanya pencampuradukkan kebudayaan
baik oleh kalangan agama maupun kalangan birokrasi karena kebudayaan sangat
luas cakupannya yaitu kehidupan sosial manusia (human social life) itu
sendiri. Birokkratisasi[78]
kebudayan yang dilakukan akan menimbulkan kemandekan kreatifitas suatu bangsa.
Kebudayaan sebuah bangsa pada hakekatnya adalah kenyataan pluralistic,
pola kehidupan yang diseragamkan atau dengan kata lain sentralisasi adalah
sesuatu yang sebenarnya tidak berbudaya.
Yang menjadi pertanyaan sekarang mampukah Islam tetap eksis
dalam zaman yang serba modern ataukah Islam tengelam dalam mimpi atas kejayaan
para pemikir terdahulu? Sebagai pemeluk agama yang baik dalam lingkup wawasan
kebangsaan, menurut Abdurrahman Wahid yaitu: selalu mengutamakan pencarian
cara-cara yang mampu menjawab tantangan zaman dan lokalitas kehidupan tanpa
meninggalkan inti ajaran agama. Selalu ada upaya untuk melakukan reaktualisasi
ajaran agama dalam situasi kehidupan yang konkrit, tidak hanya dicukupkan
dengan visualisasi yang abstrak belaka. Dalam bahasa lain agama berfungsi
sebagai wahana pengayom tradisi bangsa, sedangkan pada saat yang sama agama
menjadikan kehidupan berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya.[79]
Benar apa yang dikatakan Greg Barton bahwa: Abdurrahman Wahid
merupakan seorang tokoh yang cinta terhadap budaya Islam tradisional (dalam hal
ini khazanah pemikiran Islam yang dihasilakan oleh ulama-ulama terdahulu).
Namun kecintaan ini bukan berarti keterlibatan dan penerimaan segala aspek
budaya tradisional karena Abdurrahman sangat kritis terhadap budaya tradisonal.[80]
Pribumisasi Islam merupakan upaya dakwah (pola amar ma’ruf
nahi mungkar diselaraskan dengan konsep mabadi khoiro ummah).
Pelaksanaan kongkritnya adalah menasionalisasikan perjuangan Islam, dengan
harapan tak ada lagi kesenjangan antara kepentingan nasional dengan kepentingan
Islam.[81]
Islam sebagai agama yang diakui di Indonesia selain agama-agama yang
lain diaktualisasikan sebagai inspirasi spiritual bagi tingkah laku kehidupan
seorang atau kelompok dalam bermasyarakat dan bernegara. Yang dibutuhkan umat
Islam Indonesia
adalah menyatukan “aspirasi Islam” menjadi “aspirasi nasional”.[82]
“Salah satu
wajah ketegangan adalah upaya untuk menundukkan kebudayaan kepada agama melalui
proses pemberian legitimasi. Legitimasi diberikan bukan sebagai alat penguat, tetapi
sebagai alat pengerim. Proses ini berfungsi melakukan penyaringan terhadap
hal-hal yang dipandang sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturan agama.”[83]
Islam yang merupakan agama[84] rahmatan
lil alamin haruslah senantiasa memberikan kontribusi dalam menjawab masalah
yang timbul akibat proses modernisasi. Mengapa demikian? Karena ajaran agama
mempunyai peran yang penting dalam berbagai segi kehidupan pemeluknya. Dalam
hal ini agama dijadikan tempat mencari jawaban atas problem-problem kehidupan
para pemeluknya, oleh karenanya tokoh agama mempunyai peran kunci dalam
merumuskan kembali hukum Islam yang lebih memperhatikan umat Islam dan non
muslim dengan mempertimbangkan realita (pluralitas masyarakat dan proses
modernisasi serta pengaruh globalisasi).
Selama ini hukum Islam hanyalah dijadikan “pos
pertahanan” untuk mempertahankan identitas keislaman dari pengaruh proses
sekulerisasi. Kecenderungan statis ini menunjukkan ketidakmampuan hukum Islam
dalam menjawab perubahan zaman yang aktual. Padahal hukum Islam masih memiliki
peran yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat. Hukum Islam baru mampu
menolak kemungkaran, kebaktilan dan kemaksiatan dan belum mampu menjadi
penganjur kebaikan dalam arti yang luas.[85]
2.
Nilai-nilai Demokrasi dan
Hak Asasi Manusia
Demokrasi merupakan salah
satu tema besar yang perlu digaris bawahi dari perjuangan dan pemikiran
Abdurrahman Wahid. Baginya konsep demokrasi adalah konsekuensi logis yang
dianggapnya sebagai salah satu dimensi dalam ajaran Islam. Alasan Gus Dur
mengapa Islam dikatakan agama demokrasi. Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian
agama Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang kelas. Kedua, Islam
memiliki asas permusyawaratan (amruhum syuraa bainahum), artinya adanya
tradisi bersama membahas dan mengajukan pemikiran secara terbuka dan pada
akhirnya diakhiri dengan kesepakatan. Ketiga, Islam selalu berpandangan
memperbaiki kehidupan.[86]
Ide demokratisasi
Abdurrahman Wahid muncul karena ia melihat ada kecenderunagn umat Islam
Indonesia menjadikan Islam sebagai “alternatif” bukannya sebagai “inspirasi”
bagi kehidupan masyarakat. Di sinilah letak permasalahannya, Islam tidak bisa
menyatakan sumbangannya lebih besar dan benar dari yang lainnya karena semua
pihak sama. Adanya penghargaan terhadap pluralitas dengan menganggap mereka
yang berada di luar sebagai orang mandiri.[87]
Meskipun banyak orang
mengatakan bahwa ia adalah seorang yang inkonsistensi: sering membuat
manuver dan ide-ide yang membinggungkan dan dianggap menyesatkan umatnya. Namun
justeru keinginannya menampilkan nilai-nilai Islam dalam segi kehidupan
masyarakat Indonesia
yang plural menunjukkan ia sangat konsisten. Hal ini terlihat dari perjuangan
dan komitmennya dalam menyuarakan demokrasi, penegakan hak asasi manusia
(pembelaan terhadap kaum minoritas, termasuk pembelaan terhadap perempuan)
serta keadilan bagi setiap warga tanpa membedakan identitas serta latar
belakang ideologi.
Lebih lanjut, dalam rangka
pembelaannya terhadap demokrasi dilakukan, ia tidak harus masuk dalam sistem
tetapi di manapun dan kapanpun usaha pembelaan tehadap demokrasi dan keadilan
terus dilakukakan. Ia secara tegas menolak bergabung dengan ICMI[88]
dan memelopori berdirinya forum demokrasi (FORDEM)[89]
sekaligus menjadi ketua Fordem. Ia sosok yang tak mau menyerah dan terkesan
bandel, meskipun keberadaannya di fordem mendapatkan kritikan tajam kiai senior
NU dan para cendikiawan muslim. Nurcholis Majid[90]
mengatakan:
…kalau Gus Dur tidak masuk ICMI maka Gus Dur akan
kehilangan basis intelektualnya.” Gus Dur segera menjawab, “sejak kapan ICMI
menjadi basis intelektual saya, basis intelektual saya itu di pesantren, kiai
pondokan, sekali lagi bukan ICMI.”
Pembelaan terhadap
minoritas mendapatkan perhatian yang serius dari Gus Dur. Undang-undang
menjamin akan perlakuan yang sama terhadap warga masyarakat untuk: berpendapat,
keamanan, memilih agama dan pindah agama dan seterusnya. Muslim yang mayoritas
harus dapat melindungi mereka yang minoritas.
“…merupakan pengingkaran hakekat demokrasi yang ingin kita
tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama
mayoritas menjadi warga negara kelas dua. Dalam keadaan demikian, persamaan
kedudukan semua warga negara di muka undang-undang tidak tercapai.”[91]
Dalam konteks
ke-Indonesi-an yang pluralistik hendaknya Islam tidak ditempatkan sebagai
ideologi alternatif seperti memposisikan syari’ah berhadapan dengan kedaulatan
rakyat. Kontribusi Islam dalam demokrasi bisa dicapai bila dari Islam ditarik sejumlah prinsip universalnya seperti
persamaan, keadilan, musyawarah, kebebasan dan rule of law, karena dalam
satu aspeknya adalah merupakan agama hukum. Pemikiran demokrasi Abdurrahman
Wahid menunjukkan ia telah menerima konsep demokrasi liberal atau parlementer
dan secara tegas menolak pemikiran atau “kedaulatan Tuhan” atau pemikiran yang
berusaha mengawinkan kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan rakyat, seperti yang
dirumuskan oleh Dhiya’ ad-Din Rais.[92]
“Saya bersedia memakai yang manapun asal benar dan cocok
dengan hati nurani. Saya tidak memedulikan kutipan dari injil, Bhagawad Gita
kalau benar kita terima. Dalam masalah bangsa ayat-ayat al Qur’an kita pakai
secara fungsional bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis
dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi, soal penafsiran. Berbicara
penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis tetapi sudah pemikiran.”[93]
Kedaulatan ada di tangan
rakyat, ini merupakan kata kunci dari “demokrasi”. Rakyat yang menentukan arah
dan haluan negara menuju masa depan dalam kehidupan yang adil dan beradab demi
kesejahteraan bangsa dan negara. Mereka akan menentukan masa depan bangsa ini.
Yang jelas rakyat menginginkan keadilan, kesejahteraan hidup lahir maupun
batin, baik secara material maupun spiritual.[94]
3.
Prinsip Humanis dalam
Pluralitas Masyarakat
Dalam proses demokratisasi ada sesuatu keharusan, yang
tak boleh dilupakan dan diabaikan yaitu tentang kemanusiaan. Kemanusiaan ini
tak dapat diabaikan karena hakekat dari demokrasi adalah menempatkan manusia
sebagai subjek demokrasi itu sendiri.
“…dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari kita
kesediaan bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi
yang hidup di negeri kita. Perjuangan itu haruslah dimulai kesediaan
menumbuhkan moralitas baru dalam kehidupan bangsa dan negara dalam kehidupan bangsa,
yaitu moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah.”[95]
Pandangan Abdurrahman Wahid tentang kemanusiaan ini
muncul karena masih adanya konflik berkepanjangan yang terus terjadi hingga
sekarang baik atas nama suku, ras, golongan maupun yang mengatasnamakan agama
di berbagai pelosok di Indonesia .
Konflik yang berkepanjangan ini menunjukkan belum adanya penghargaan terhadap
kemanusiaan dan mudahnya orang main hakim sendiri. Dalam hal ini tokoh agama,
birokrat, pendidik, tokoh masyarakat berperan terhadap penananman nilai-nilai
agama yang berkaitan dengan moralitas.
Agama samawi yang terakhir (Islam) menurut Abdurrahman
Wahid memuat lima jaminan kemanusiaan. Jaminan itu antara
lain: keselamatan fisik warga masyarakat
dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, jaminan atas keyakinan agama
masing-masing, keselamatan keluarga dan keturunan, perlindunagn harta benda dan
milik pribadi.[96] Dari
kelima jaminan dasar Islam terhadap kemanusiaan menunjukkan bahwa Islam
memperlakukan warga masyarakat tanpa membedakan agama.
4.
Prinsip Keadilan dan
Egaliter
Demokrasi dikatakan berhasil jikalau warga masyarakat
mendapatkan keadilan. Demokrasi terasa berkeadilan apabila ada kesetaraaan
(egalitarianisme) warga masyarkat baik di depan undang-undang, hukum maupun
dalam lembaga birokrasi dengan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama tanpa
adanya diskriminasi gender, warna kulit, pribumi-keturunan, etnis, idiologi,
dan agama.
“Jika dikaitkan dengan keadilan, demokrasi hanya dapat
tegak dengan keadilan. Kalau Islam menopang demokrasi, maka Islam juga harus
menopang keadilan. Sebagaimana difirmankan oleh Allah, “wahai orang-orang
yang beriman, hendaknya kalian menegagkan keadilan”. Perintah ini sangat
jelas, yakni perlunya ditegakkan keadilan dalam segala bentuk, baik keadilan
hukum maupun keadilan sosial. Keadilan sosial ini sangat penting karena salah
satu patokan Islam adalah kaidah fiqh: langkah dan kebijaksanaan para
pemimpin mengenai rakyat yang mereka pimpin haruslah terkait sepenuhnya dengan
kesejahteraan rakyat yang mereka pimpin itu. Karena orientasinya adalah
kesejahteraan rakyat, maka keadilan sangat dipentingkan. Orientasi
kesejahteraan inilah yang membuktikan demokratis atau tidaknya kehidupan suatu
masyarakat”.[97]
Dari uraian di atas dapat tarik benang biru bahwa
perbedaan agama, budaya, etnis harus dipahami dengan sikap yang bijak dan arif
dari semua pihak tanpa mengunggulkan kelompok sendiri sembari merendahkan
kelompok lain. Tiap kelompok masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dalam hak
dan kewajiban sebagai warga negara dalam membangun Indonesia . Dengan rasa solidaritas,
keterbukaan, toleransi dan dialog kita membangun Indonesia yang berdudaya dan
beradab, aman dan damai.
BAB IV
ANALISIS KONSEP PLURALISME
ABDURRAHMAN WAHID DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
B. Pluralisme dalam Pandangan Islam
Adapun kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural”
yang berarti jamak atau banyak, adapun pluralisme itu sendiri berarti suatu
paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak
substansi.[98]
Pluralisme juga sering digunakan untuk melihat makna realitas keragaman
sosial-masyarakat sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu.
Baik kemajemukan dalam unsur budaya
maupun keragaman manusia dengan segala
aspeknya.
Allah telah menciptakan manusia dengan berbagai macam
keunikan mulai dari: warna kulit, jenis kelamin, bahasa, suku, dan postur tubuh
serta keragaman agama dan budaya yang berbeda dari manusia satu dengan lainnya.
Hal ini merupakan kehendak-Nya yang bersifat kodrati dan hukum Allah:
sunnatullah ini mencerminkan kekuasaan dan keagungan Tuhan yang layak disembah.
ومن ايته خلق السموات والارض واختلا ف السنتكم والوانكم ان في ذلك لأيت
للعلمين.
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaaan-Nya
ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna
kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. ar-Rum 22)[99]
Kemajemukan memang murni kekuasaan Allah SWT bukan
berarti Ia tidak mampu menciptkan ummat yang satu. Kenapa Allah tidak
menghendaki demikian? Karena dengan ini manusia akan diuji kesalehannya, untuk
dapat menghormati dan menghargai antar person ciptaan-Nya dan berlomba-lomba
dalam hal kebaikan. Kalau memang keragaman merupakan sunatullah maka
tidak ada sikap lain bagi muslim terhadap pluralitas itu kecuali menerima
sepenuhnya.
...ولوشاء الله
لجعلكم امة واحدة ولكن ليبلوكم في ما
اتكم
فالستبقواالخيرت...
Artinya: “…Sekiranya Allah mengendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan….” (Q.S.
al-Maidah 48)[100]
Dalam hubungannya dengan
pluralitas, Islam menetapkan prinsip untuk saling menghormati dan untuk saling
mengenal serta saling mengakui eksistensi kelompok lain, seperti yang
ditegaskan al-Qur’an:
يأيهاالناس اناخلقنكم من ذكر
وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا قل ان اكرمكم عندالله اتقكم قل
ان الله عليم خبير
Artinya: “Wahai manusia, sesunguhnya telah kami
jadikan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal.”
(Q.S. al-Hujurat 13)[101]
Bahkan, pluralisme adalah suatu keharusan bagi
keselamat umat manusia di muka bumi dan merupakan wujud kemurahan Allah yang
melimpah kepada manusia. Allah menciptkan umat yang majemuk karena di situ
terletak kekuatan penyeimbang dan mekanisme pengawasan antara sesama manusia.
Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah berikut ini:
...ولولادفع الله الناس بعضهم ببعض
لفسدت الأرض ولكن الله ذوفضل على العلمين
Artinya: “Seandainya Allah tidak mengimbangi
segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur;
namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.” (Q.S.
al Baqoroh 251)[102]
Dengan demikian penghormatan atas pluralitas adalah
suatu keharusan. Secara tegas Islam menolak dan melarang manusia merendahkan
golongan lain dan menganjurkan untuk bersifat khusnudzan (berbaik
sangka), dengan kata lain umat satu dapat melihat secara obyektif kelemahan
diri sendiri dan dapat mengambil pelajaran positif dari orang lain. Hal
tersebut diikuti dengan mengindari perbuatan shu’udzan (berburuk
sangka), karena perbuatan ini dapat menyebabkan kurangnya melihat kelemahan
yang ada padanya. Allah telah menunjukkan hal di atas dalam al Qur’an:
يأيهاالذين امنوالايسخرقوم من قوم عسى
ان يكونوا خيرا منهم ولانساء من نساء عسى ان يكن خيرا منهن ولاتلمزوا انفسكم
ولاتنابزوا بالألقابقلبئس الإسم الفسوق بعد الإيمان ومن لم يتب فأولئك
هم الظلمون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah
sekumpulan laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
direndahkan lebih baik dari mereka dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan perempuan yang lain, boleh jadi yang direndahkan lebih
baik dari mereka dan janganlah kamu suka menjela bangsamu dan janganlah
memangil dengan gelar ejekan. Jahat sesudah beriman itulah nama yang amat
buruk. Siapa yang tidak kembali itulah orang-orang yang bersalah” (Q.S. al
Hujurat 11)[103]
Selain manusia diharuskan untuk menghormati dan
mengenal kelompok manusia yang berbeda agama, ada sisi penting yang seyogyanya
terus dilakukan oleh umat manusia yaitu untuk melakukan musyawarah dan
kerjasama guna membangun peradaban di muka bumi ini. Penghormatan atas
kemajemukan telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam usahanya melakukan
konsolidasi dengan masyarakat madinah yang kemudian disebut: perjanjian madinah
atau piagam madinah[104].
Nabi mampu menyatukan masyarakat madinah yang multi agama dan multi etnik. Nabi
menjumpai tiga komunitas agama: Muslimin, Yahudi, dan Musyrikin. Pertama,
Muslimin terdiri dari Muhajirin dan Anshar; Muhajirin terdiri dari bani Hasyim
dan bani Muthalib, sementara anshar terdiri dari suku Aus dan Khajraj. Kedua,
golongan Yahudi terdiri dari banu Qaynuqa, banu Nadhir, dan banu Qurayzah. Ketiga
yaitu kaum Musyrikin yang menyembah berhala (paganisme).[105]
Untuk memelihara keamanan, keselamatan dan hidup
damai maka harus ada undang-undang yang disepakati bersama. Hal ini diwujudkan
Rasul dalam piagam madinah. Piagam ini merupakan bukti autentik bahwa Islam
mendukung dan memerintahkan umatnya melakukan kerjasama dengan kelompok lain
meskipun berbeda agama dan keyakinan. Sifat inklusif ini terus digalang
oleh rasulullah. Kuntowijoyo berpandangan bahwa Islam mengakui adanya diferensiasi
dan bahkan polarisasi sosial. Al-Qur’an menggariskan bahwa fenomena
ketidaksamaan sosial tersebut sebagai sunnatullah, sebagai hukum alam
dan realitas empiris yang ditakdirkan terhadap dunia manusia.[106]
Dengan demikian pluralitas masyarakat baik mengenai
sifat manusia maupun kemajemukan budaya sama sekali tidak bertentangan dengan
ajaran Islam tidak terkecuali pluralitas masyarkat Indonesia . Kemajemukan suatu
masyarakat atau bangsa haruslah tetap dipelihara dan dijaga bersama demi
tegaknya keadilan dan keamanan hidup manusia yang berbangsa dan bernegara.
Proses reduksi
ini akan terus-menerus terjadi dari generasi ke generasi. Oleh karena itu perlu
diketahui bahwa ajaran Islam yang sesungguhnya adalah ajaran yang belum
mengalami reduksi (Islam yang ideal: hanya diketahui dan dikehendaki Allah).
Ini yang harus ditangkap oleh umat Islam. Berbagai tafsir al-Qur’an dan Imam
Madzab ditulis dalam rangka memahami kesempurnaan ajaran Islam tersebut.
Kesempurnaan ajaran Allah tentu tidak dapat seluruhnya ditangkap oleh manusia
karena pada hakikatnya kesempurnaan milik Allah. Di sinilah letak esensi dari
keberagamaan dan keragaman umat yakni ada pencarian terus-menerus (on going
quest), dan proses menjadi tanpa batas (timeless process of becoming).
Pemahaman dan penafsiran yang berbeda harus disikapi dengan rasa penghormatan
dan dihargai sebagai rahmat Allah.
Merespon pluralisme dalam kehidupan bermasyarkat
prof. Dr. H. A. Mukti Ali lebih cenderung berpedoman pada cara agree in
disagreement (setuju dalam perbedaan), dalam cara pandang ini seseorang
berasumsi dan percaya agama yang dipeluk adalah agama yang paling baik dan
benar di antara yang lainnya, selain terdapat perbedaan juga ada persamaan.[108]
Berbeda dengan Amin Abdullah bahwa sikap agree in disagreement tidak
cocok untuk level kehidupan sosial, karena konsep ini masih tampak menonjolkan
pendekatan teologi dan kalam, lantaran disagreementnya masih sempat
ditonjolkan, sedang agreenya bisa saja sempat tertindih oleh disagreement.[109]
Dan ia lebih cocok dengan pola kontrak sosial dalam menyikapi pluralitas
masyarakat, hal ini dikarenakan bahwa manusia harus menjalin hubungan kerjasama
dengan manusia lain dalam membangun dan memecahkan masalah bersama. Dengan
demikian dalam kontak sosial ada kecenderungan menerima dengan tulus atas
perbedaan itu dibaregi dengan dialog untuk mengambil nilai lebih. Bukan berarti
untuk menafikkan hakikat kebenaran yang diyakini.
C.
Potret: Masyarakat dan Pendidikan
Islam di Indonesia
Masyarakat Indonesia telah sejak berabad-abad
yang lalu hidup dalam kemajemukan dan berbasis pada multikultural lapisan
etnisitas dan agama-agama.[110]
Setiap kelompok memiliki pandangan tentang sistem nilai yang dipegang sebagai
landasan hidupnya. Sistem nilai itu disebut sub ideologi, sehingga dalam suatu
bangsa yang majemuk terdapat sub-sub ideologi dan ideologi nasional menjadi
konsensus berbagai kelompok kepentingan (merupakan hasil konsensus berbagai sub
ideologi). Masyarakat majemuk lebih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
keadilan sosial, demokrasi, nasionalisme, kekeluargaan, ketakwaan terhadap
Tuhan YME sebagai ideologi nasional yang termaktub dalam pancasila.
Pancasila sebagai common platform, yaitu
landasan bagi tumbuhnya ideologi-ideologi yang beragam dan menjadi kalimatun
sawa’ bagi kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia yang mempunyai latar
belakang keagamaan yang beragam. Indonesia
adalah salah satu negara di dunia yang memiliki jumlah penduduk relatif besar,
menempati urutan ketiga setelah China
dan India .
Pluralitas etnik, budaya, bahasa, dan agama serta ideologi –bagaikan pisau
bermata dua. Di satu sisi kekakayaan ini merupakan khazanah yang patut
dipelihara dan dapat memberikan nuansa dinamika bangsa, namun di sisi lain
kemajemukan inilah menjadi pemicu terjadinya konflik dengan disertai kekerasan
dengan dalih etnis dan agama. Kekerasan dan kerusuhan yang akhir-akhir ini
terjadi di belahan penjuru daerah nusantara menunjukkan tidak adanya sikap yang
arif dan bijak terhadap perbedaan yang ada.[111]
Gejala ini dapat muncul setiap saat dan harus tetap diwaspadai. Berbagai pihak
baik aparat pemerintah, tokoh politik, tokoh agama, mapun tokoh masyarakat
untuk segera menemukan solusi pemecahannya.
Dalam kehidupan masyarakat majemuk yang diperlukan
adalah penghormatan atas berkembangnya budaya masyarakat dengan segala
bentuknya. Hal ini dikarenakan budaya menjadi salah satu fakor perekat sosial
demi tegaknya kehidupan yang harmonis bagi suatu bangsa dan masyarakat dalam
rangka membangun kehidupan yang lebih maju di era globalisasi dan modernisasi.
Budaya sebagai hasil karya masyarakat merupakan eksistensi asazi dari manusia
yang perlu dilestarikan keberadaannya, karena dengan ini akan tercipta kesatuan
dalam keaneka-ragaman. Manusia merupakan makluk sosial yang membawa karakter
biologis dan psikologis alamiah sekaligus warisan dari latar belakang historis
kelompok etniknya, yaitu pengalaman kultural dan warisan kolektif. Dengan
demikian perilaku, sikap dan nilai manusia sangat dipengaruhi oleh budaya
masyarakat. Perilaku manusia adalah hasil dari proses sosialisasi dan
sosialisasi selalu terjadi dalam konteks lingkungan etnik, kultur dan agama.[112]
Pendidikan agama merupakan usaha yang tersistematisir
sebagai upaya mentransfer nilai-nilai religius –dalam hal ini yang digarap
meliputi aspek kognitif, afektif, dan aspek spikomotorik- kepada peserta
didik dinilai telah gagal. Kegagalan ini
dikarenakan pendidikan belum mampu menelorkan SDM yang kritis, kreatif dan
inovatif serta keluhuran budi penuh etika-moral. Selama ini Proses pembelajaran
baru dapat menyentuh aspek kognitif dan afektif dan jauh terhadap pencapaian
ranah psikomotorik. Yang disebut terakhir ini sangat esensial bagi umat
religius: berkaitan dengan kepekaan manusia dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pada masa sekarang ini, pendekatan pendidikan Islam
berlangsung melalui proses operasional menuju pada tujuan yang diinginkan,
memerlukan model yang melandasinya, sebagaimana yang pertama kali dibangun
Nabi. Nilai-nilai tersebut dapat diaktualisasikan berdasarkan kebutuhan
perkembangan manusia yang dipadukan dengan pengaruh lingkungan kultural yang
ada, sehingga dapat mencapai cita-cita dan tujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia di segala aspek kehidupannya.
Tetapi apa yang terjadi, kondisi pendidikan Islam
pada saat ini, mendapat sorotan tajam yang kurang menggembirakan dan dinilai
menyandang “keterbelakangan” dan julukan-julukan yang lain, yang semuanya
bermuara pada kelemahan yang dialaminya. Kelemahan pendidikan Islam dilihat
justru terjadi pada sektor utama, yaitu pada konsep,[114]
sistem, dan kurikulumnya, yang diangap mulai kurang relevan dengan kemajuan
peradaban umat manusia dewasa ini atau tidak mampu menyertakan disiplin-disiplin
ilmu lain yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Kenyataan ini, menunjukkan bahwa pendidikan Islam
belum dapat dikatakan telah berjalan dan memberikan hasil secara memuaskan. Hal
ini mempunyai pengertian bahwa pendidikan Islam belum mampu manjawab arus
perkembangan zaman yang sangat deras, seperti timbulnya aspirasi dan idealitas
yang serba multiinteres dan berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang
sangat beragam, serta perkembangan teknologi yang sangat pesat.[115]
Melihat kenyataan ini, maka pendidikan Islam perlu
mendapat perhatian yang serius dalam menuntut pemberdayaan yang harus
disumbangkannya, dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama yang ada di Indonesia .
Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya dalam usaha pendidikan
bangsa Indonesia
yang mayoritas muslim, sehingga perlu ada terobosan seperti perubahan model dan
strategi pelaksanaannya dalam menghadapi perubahan zaman.
Usaha penataan kembali akan memperoleh keuntungan
majemuk, karena, pertama, Pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan
nasional di Indonesia, akan dapat memperoleh dukungan dan pengalaman yang
positif. Kedua, Pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan dan
alternatif bagi pembenahan sistem pendidikan di Indonesia dengan ragam kekurangan,
masalah, dan kelemahannya. Ketiga, sistem Pendidikan Islam yang dapat
dirumuskan akan memiliki akar yang lebih kokoh dalam realitas kehidupan
kemasyarakatan.[116]
Amin Abdullah[117]
mengatakan bahwa ciri pendidikan agama di era klasik skolastik yaitu sifatnya
yang terlalu menekankan bahwa keselamatan individu terletak pada hubungannya
dengan Tuhan, kurang begitu memberi tekanan yang baik antara individu dengan
individu lainnya.[118]
Dengan demikian jangan salahkan jika anak kurang peka terhadap nasib,
penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesamanya, yang mungkin kebetulan
memeluk agama lain. Fokus Pendidikan Islam bukan terletak pada kemampuan siswa
melakukan ritual dan keyakinan tauhid, tetapi juga tidak kalah pentingnya
menumbuhkan akhlaq sosial dan kemanusiaan.
D. Pluralisme Dalam Prespektif Pendidikan Islam
Penulis sadar bahwa Abdurrahman Wahid bukanlah
seorang tokoh pendidikan[119]
namun ide-ide progresif dan wawasan keislaman serta kecintaanya terhadap budaya
Indonesia
tidak diragukan lagi. Ia salah satu tokoh yang telah memberikan sumbangan besar
bagi NU yaitu: melakukan dobrakan dengan ide-ide progresif dan terkadang
liberal. Ia berusaha mengkombinasikan antara pemikiran Islam klasik (dunia
pesantren) dengan dunia Barat (liberal). Gus Dur pengetahuan dan
pengalamannya di dunia pendidikan cukup lama.
Berangkat dari hal di atas apa salahnya jika penulis
mengambil dan menganalisa pemikiran Gus Dur untuk dijadikan renungan bagi dunia
pendidikan kita. Ide-ide Gus Dur sebagian besar muncul karena melihat realitas
masyarakat Indonesia serta
kecintaannya pada bangsa Indonesia ,
tidak terkecuali Islam. Lembaga pendidikan merupakan bagian kecil dari
masyarakat dan cerminan cita-cita masyarakat. Oleh karena itu proses
transformasi nilai-nilia kebangsaan dan religius seharusnya dimulai dari bangku
pendidikan, dari TK sampai pada perguruan tinggi dan lembaga pendidikan yang
lainnya.
Tantangan yang terus datang bertubi-tubi terhadap
Islam secara umum dan lebih khusus terhadap Pendidikan Islam dalam menyikapi
perkembangan zaman dengan permasalahannya yang semakin kompleks dan kemajuan
iptek di sisi lain. Pertama, upaya pemahaman ajaran Islam yang lebih lebih
inklusif, toleran dengan mempertimbangkan umat, perkembangan zaman, budaya
setempat. Kedua, kualitas SDM yang dihasilkan belum dapat memenuhi kebutuhan
dan harapan masyarakat. Dengan demikian perlu ditinjau ulang lembaga pendidikan
dan proses pengajaran, baik mengenai alat, metode, orientasi maupun metodologi
serta pendekatan yang digunakan selama ini.
Dengan demikian problem yang dihadapi umat Islam dan
lembaga pendidikan bukan suatu pekerjaan yang mudah. Hal ini memerlukan
keseriusan dan kerja keras dari semua pihak serta usaha yang melelahkan dan
memakan waktu yang panjang. Dengan demikian hal ini merupakan suatu keharusan,
oleh karena itu usaha pembenahan Pendidikan Islam harus terus dilakukan secara
terus-menerus dan berkesinambungan. Berangkat dari pemikiran Gus Dur dalam
menyikapi pluralitas masyarakat Indonesia ,
penulis mencoba menemukan ide-idenya dan berusaha memahami ide-ide tersebut dan
lebih lanjut dianalisa guna dijadikan telaah dalam menyikapi nasib dunia
Pendidikan Islam yang semakin tidak menentu. Adapun ide-ide Abdurrahman Wahid
telah dijelaskan pada bab III, selanjutnya penulis mencoba menganalisa ide-ide
Abdurhaman Wahid untuk dijadikan masukan bagi dunia Pendidikan Islam. Ada beberapa hal yang
perlu ditekankan dalam proses pengajaran Pendidikan Islam di Indonesia yaitu:
a.
Paradigma agama: antara
Inklusif dan Eksklusif
Sikap atas keragaman pemahaman keagamaan telah dicontohkan
oleh para imam madzab terdahulu. Perbedaan cara pandang terhadap ajaran Islam
mereka sikapi dengan rasa hormat dan toleransi. Karena pemahaman yang berbeda
itu menjadi kekayaan tersendiri dan merupakan khazanah intelektual peradaban
Islam. Hal ini menjadi perhatian bagi generasi sekarang apakah kita terima apa
adanya atau perlu dikaji dan didialogkan dengan kondisi riil masyarakat: modern
dan globalisasi.
Kalau memang Islam itu rahmatan lil alamin yang cocok
untuk semua zaman dan tempat maka sudahkah ajaran Islam dapat menjawab problem
sosial masyarakat saat ini. Dalam menjawab kebuntuan umat di atas maka
dibutuhkan jawaban yang dapat menyejukkan umat, oleh karena itu diperlukan
rekontruksi pemahaman agama yang sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.
Dengan demikian paradigma pemahaman keagamaan yang ekslusif, intoleran sudah
selayaknya dikubur dalam-dalam karena tidak relevan dalam kehidupan masyarakat
yang plural.
Seorang ekslusivis cenderung berusaha memonopoli kebenaran,
tertutup, tidak mau mendengar dan memahami orang lain, dan kecenderungan
bersikap otoriter. Sikap monopoli kebenaran pada gilirannya membuat seseorang
mempunyai hak istimewa untuk menentukan mana agama yang benar dan mana yang
sesat. Sikap sekelompok orang muslim tertentu yang memandang syi’ah
sebagai aliran sesat dan karena itu dilarang hidup di Indonesia merupakan contoh empiris
monopoli kebenaran.[120]
Kecenderungan ini memperlihatkan mudahnya seseorang menghukumi orang lain
dengan kejam dan tidak manusiawi. Paradigma hitam-putih, benar-salah,
surga-neraka, telah menyelimuti umat beragama selama berabad-abad. Fenomena ini
mengambarkan bahwa di kalangan umat Islam sendiri belum adanya sikap terbuka
terhadap perbedaan orang Islam lainnya lebih-lebih terhadap agama lain.
Kalau cara pandang demikian masih tetap dipertahankan oleh
umat Islam di Indonesia saya tidak yakin Islam akan menjadi rahmat bagi
orang muslim sendiri, lebih-lebih rahmatan lil ‘alamin. Oleh sebab itu
yang dibutuhkan umat saat ini adalah pemahaman ajaran Islam yang lebih inklusif
baik intern maupun ekstern umat beragama serta pemahaman yang lebih
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.[121]
Peran Pendidikan Agama sangat urgen dalam pemberantasan
eksklusifitas keagamaan di Indonesia .
Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan wadah yang paling efektif dan efisien
dalam upaya melakukan transformasi nilai-nilai kemanusiaan dan religius kepada
peserta didik mulai dari bangku TK sampai pada peguruan tinggi. Selama ini
praktik Pendidikan Agama Islam masih bersifat kaku dan sentralistik. Hal ini
terlihat dari pola pembelajaran yaang masih bersifat mendekte siswa, siswa
harus sama[122] dengan
guru ketika berbeda dengan atas (guru, kepala sekolah, pemerintah) siswa diberi
label salah, berdosa dan terkadang dibarengi sikap curiga dan sentimen.
Berkaitan dengan hal di atas terlihat jelas bahwa proses
pendidikan agama lebih menekankan pada keselamatan yang didasarkan pada
hubungan individu dengan Tuhannya dan kurang menekankan keselamatan didasarkan
pada hubungan individu dengan individu lain. Perbedaan asumsi dasar dan
filosofi cara memperoleh keselamatan ini menurut Amin Abdullah sangat besar
sekali implikasi dan konsekuensinya dalam menyusun muatan materi dan silabi
serta kurikulum Pendidikan Islam di sekolah-sekolah.[123]
Dan sangatlah wajar jika anak didik kurang begitu sensitif dan kurang peka
terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan
berbeda dengannya.
b.
Pendidikan Islam: Humanis dan
Egalitarian
Konflik yang banyak terjadi di Indonesia membuktikan telah terjadi
missing link antara pendidikan agama dan dengan pendidikan nilai. Oleh
karena itu perlu adanya penambahan kurikulum Pendidikan Islam yang sifatnya
universal: nilai-nilai humaniora (kemanusiaan). Penambahan nilai-nilai universal dalam
pendidikan bukan berarti ingin menonjolkan sifat-sifat liberal Pendidikan Islam
namun dimaksudkan dengan pemahaman terhadap nilai-nilai universal anak didik
akan dapat mengejawantahkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.
Kemanusian menjadi agenda penting dalam proses pendidikan.
Karena pendidikan tidak saja berkaitan transfer pengetahuan yang sifatnya
keilmuan namun ada sisi lain yang lebih penting dari pendidikan yaitu suatu
proses internalisasi nilai kepada anak didik. Oleh karena itu fokus pendidikan
tidak hanya terletak pada aspek kognitif semata namun aspek afeksi dan
psikomotor menjadi agenda penting yang tidak dapat dikesampingkan. Manusia
sebagai makluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa dan dengan orang lain.
Dari pernyataan di atas ada sebuah pertanyaan yang cukup
menggoda: bagaimana praktik Pendidikan Islam –dalam hal ini pelaksanaan
pengajaran- telah mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan? Ataukah sebaliknya. Di
sinilah peran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia
menjadi urgen untuk memulai dan menerapkan pendidikan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan serta kesetaraan tanpa ada
diskriminasi.
Proses pembelajaran (materi agama) yang berlangsung di
sekolah selama ini lebih bersifat eksklusif. Hal ini terlihat proses
pembelajaran yang tidak memberikan ruang pada siswa untuk berbeda pendapat
dengan guru. Ketika siswa berbeda dengan guru maka dengan mudah diberi label
dosa dan ancaman neraka. Materi pelajaran agama (Islam) bernada penyeragaman yang
tidak sesuai pluralitas siswa itu sendiri. Pendidikan Islam lebih cenderung
pada proses indoktrinisasi tunggal tentang kebenaran yang tidak dapat dibantah
lagi.
Ruang kelas bagaikan penjara tanpa peluang kreatif dan
inovatif. Hal ini terlihat dari tujuan pendidikan “membentuk kepribadian muslim
beraklak mulia” dan seterusnya. Tujuan ini diberlakukan untuk semua jenis,
jenjang, bidang studi. Pendidikan hanyalah keinginan atasan (guru dan para elit
penguasa) bukan sebaliknya pendidikan untuk membimbing dan mendampingi peserta
didik dengan segala problem kehidupan dan keadaan masyarakat di mana ia berada.
Siswa sebagai layaknya manusia mempunyai kebebasan
mengekspresikan potensi yang dimilikinya: berpikir kritis, inovatif serta
kretaif, namun jusetru potensi ini dipasung di lembaga pendidikan. Kekerasan
sistemik di ruang kelas mengisyaratkan kemanusiaan belum diperhatikan, siswa
dianggap mesin poto copy yang harus mengikuti kemauan atasan dan materi
pendidikan agama berupa instan yang datang dari penguasa. Meletakkan siswa pada
obyek pendidikan bukan pada subyek pendidikan dengan sendiri akan mematikan
posisi manusia yang secara kondrati berpotensi untuk berkembang. Dengan begitu
peran sekolah berubah fungsi melakukan pendampingan kepada peserta didik tetapi
lebih pada menciptakan manusia-manusia mesin/robot. Kalau model pembelajaran
masih seperti itu maka penciptaan manusia Indonesia yang seutuhnya (insan
kamil) hanya utopia belaka.
c.
Demokratisasi Pendidikan
Lembaga pendidikan di berbagai negara termasuk Indonesia
merupakan alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Kebijakan-kebijakan
yang diambilpun bersifat sentralistik: berasal dari atas bukannya kebijakan
diambil dari bawah yaitu: melalui proses komunikatif dan akomodatif yang
memihak rakyat. Dengan kata lain pendidikan tidak lagi mendewasakan dan
membebaskan manusia dari penindasan. Demi tegaknya demokratisasi pendidikan
maka campur tangan penguasa (pemerintah) harus hindari, bukan sama sekali
ditiadakan. Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam instutusi pendidikan yaitu
sebagai fasilitator. Sedangkan pada dataran praktis berkaitan dengan
pelaksanaan dan penyusunan materi diserahkan kepada kepada rakyat dengan
melibatkan berbagai unsur masyarakat.
Pendidikan merupakan sebuah proses di mana manusia menemukan
eksistensi diri: proses berpikir, berpendapat dan seterusnya merubah hidupnya
lebih bermakna dan beradab. Sistem sentralisasi yang selama ini dijalankan
dinilai telah menyumbat daya kritis dan kreatifitas anak didik. Hal ini
terlihat dalam Pendidikan Agama Islam: guru sebagai “sentral” yang selalu
benar, lengkap bebas kritik dan siswa pada posisi bawah harus sesuai dengan
“atas”. Dengan demikian tugas Pendidikan Islam adalah menumbuh kembangkan
potensi peserta didik dengan daya kretifitas yang dimiliknya.
Dalam berdemokrasi kita harus melindungi dan menghormati
mereka yang minoritas. Dengan demikian lingkungan Pendidikan Islam harus membiasakan
berbeda pendapat. Perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa dalam memahami
agama, karena hasil apapun pemahaman manusia tentang ajaran bersifat relatif
adanya. Dengan cara demikian maka akan terjadi untuk menghormati nilai-nilai
pluralitas manusia.
Membiasakan anak didik untuk berpikir secara kritis,
analisis, inovatif dan kreatif: mendialogkan pengetahuan yang didapat di bangku
sekolah dengan realitas empiris masyarakat. Sehingga dengan demikian akan
terjadi proses perenungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan realitas
sosial akan memungkinkan siswa tumbuh dengan penghormatan atas pluralitas yang
unik. Dengan demikian anak didik akan terus mendialogkan pengetahuan dengan
perkembangan zaman.
d.
Penuh Etika dan Moral
Pendidikan agama sebagai upaya transformasi
nilai-nilai religius yang penuh dengan moralitas dan etika kemanusiaan terjebak
pada formalisme simbol-simbol keagamaan yang semu yaitu: rutinitas dan keajekan
beribadah, dan belum dapat menyentuh etika (moral) sosial secara umum. Dengan demikian
pendidikan agama belum menyentuh pada subtansi dan esensi dari nilai-nilai
religius yaitu penuh dengan kesalehan sosial dengan tidak mengenyampingkan
ibadah yang bersifat ubudiyah. Padahal ruh Pendidikan Islam terletak
dalam nilai-nilai religius.[124]
Seperti yang dikatakan al Attas bahwa tujuan
Pendidikan Islam adalah menciptkan individu yang beradab yaitu: individu yang
sadar akan individualitasnya dan hubungan yang tepat dengan diri, Tuhan,
masyarakat dan alam sekitar baik yang tampak maupun yang gaib.[125]
Dengan kata lain seorang individu mempunyai tanggug jawab dengan Tuhan atas
tindakannya serta bertanggug jawab secara moral dengan masyarakat (sosial), dan
alam semesta.
Jadi, adanya upaya memadukan kesalahen personal dan
kesalehan sosial: keselamatan insaniyah, kemaslahatan basyariyah, serta
keselamatan alam. Pendidikan tidak semata memicu kecerdasan yang bersifat
kognitif semata, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik yaitu: prilaku
kongrit terhadap sosial kemasyarakat.
D. Reorientasi Paradigma Pendidikan Islam
Di era globalisasi dan
modernisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi, komunikasi, media
elektronik yang tidak mungkin dibendung lagi. Manusia harus menghadapi kemajuan
teknologi dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dalam hal ini Pendidikan Islam
dihadapkan pada pilihan yang sulit antara mempertahankan sistem pendidikan yang
lama yang sarat dengan materi-materi yang sifatnya eskatologis ataukah
melakukan terobosan baru guna membekali anak didik dalam mengadapi globalisasi?
Kalau umat Islam masih cenderung mempertahankan cara
yang pertama: paradigma salaf maka penulis yakin Pendidikan Islam akan
ditinggalakan oleh masyarakat. Karena model ini lebih cenderung menonjolkan
aspek kognisi bersifat menghafalkan materi-materi pelajaran agama sehingga
produk yang dihasilakan (siswa didik)
tidak lebih seperti robot-robot yang mampu bekerja sesuai dengan remote control
(pendidik). Proses pendidikan berlangsung secara monolitik (seragam) kurang mengembangkan daya kritis,
keratif dan inovatif. Oleh karena itu harus ada reorientasi paradigma
pendidikan agama Islam yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat dengan tidak
meninggalkan inti ajarannya. Dalam hal ini peran pendidikan tidak lain yaitu
menyiapkan anak didik mampu mengadaptasikan dengan perkembangan zaman dengan
dampak yang ditimbulkannya. Anak didik tidak hanya akan cukup dibekali dengan
materi-materi namun lebih dari itu dibutuhkan penguasaan metodologi.
Untuk menuju pada pendidikan agama Islam yang
mengargai pluralisme selain perubahan pada materi-materi yang tersusun dalam
silabi seperti yang disebutkan di atas, juga harus dilakukan perubahan
pendekatan dalam pengajaran. Pola-pola lama dalam pendekatan agama harus
dirubah dengan model baru yang lebih mengalir dan komunikatif dengan tidak mengenyampingkan
perbedaan peserta didik. Dengan demikian pola penyeragaman harus ditinggalkan
karena menggingat keunikan peserta didik harus tetap tumbuh sebagai upaya
menumbuhkan daya kerativitas. Adapun pendekatan-pendekatan tersebut antara lain
sebagai berikut:
Pertama, pendekatan historis. Pendekatan ini
berusaha mengajak manusia untuk menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat
empiris dan mendunia.[131]
Dengan demikian dalam pengajaran agama Islam guru harus menyampaikan secara
detail sampai pada akar-akarnya: berkaitan dengan isi, asbabun nuzul/asbabul
wurud, kapan, di mana dan hikmah dari ayat atau hadist tersebut. Penelusuran
sejarah menjadi titik tekan dan dikemukakan secara terbuka dan jujur dengan
senantiasa membuka diri untuk berbeda pendapat. Sejarah dikemukakan sebagai
fakta, bukan sebagai kemestian yang harus diikuti dan dibenarkan. Apa yang baik
dalam sejarah harus dikatakan baik dan apa yang buruk dikatakan buruk.
Penilaian diserahkan kepada peserta didik sedangakn pendidik sebagai penyampai
berita.
Pendektan historis ini sebenarnya merupakan
pendekatan yang mencoba mendekatkan kejadian-kejadian di masa lampau yang
biasanya mensejarah kemudian dikonfrontasikan dengan norma-norma yang ada.
Dalam konfrontasi ini kadang-kadang yang dikatakan dalam kitab suci berlainan
dengan apa terjadi sehingga menimbulkan semacam confuse tersendiri,
bukan hanya bagi siswa namun juga pendidik. Tetapi itu realitas yang harus
dikemukakan.
Kedua, pendekatan sosiologis. pendekatan ini
berusaha melihat keadaan masyarakat serta berbagai gejala sosial lainnya yang
saling berkaitan.[132]
Dengan pendekatan ini diharapkan ada proses kontekstualisasi atas apa yang
pernah terjadi di masa sebelumnya. Kontekstualisasi ini dalam pemikiran Islam
dapat disebut ijtihad (inovasi/pembaharuan) atas apa yang dulu pernah dipahami.
Dengan pendekatan sosiologi akan membawa materi Pendidikan Agama Islam pada
umumnya lebih aktual. Keaktualan materi bukan karena dibuat-buat tetapi lebih
berdasarkan keterangan-keterangan yang senantiasa ada dasar argumentasinya dan
dikemukakan secara terbuka.
Pendekatan sosiologi secara tegas menolak pengajaran
dengan pola indokrinasi tetapi lebih menekankan kerangka berpikir kontekstual
kekinian, dengan ini ada peluang siswa untuk saling menghormati dan toleran terhadap
pluralisme. Pendekatan doktrinal dogmatikal cenderung menekankan pada
pembelaan-pembelaan atas apa yang dikatakan kitab suci. Pendekatan sosiologi
tidak demikian, kitab suci tetap sebagai rujukan tetapi dengan melihat realitas
kondisi masyarakat yang berbeda dengan masyarakat di mana kitab suci
diturunkan.
Ketiga, pendekatan kultural. Pendekatan ini
dimaksudkan untuk mengajak siswa memahami apa yang sebenarnya menjadi tradisi
dan mana yang otensik (orisinil). Pendektan ini berusaha melihat campur aduknya
tradisi Arab dan nilai ajaran agama yang orisinil, sehingga masih banyak umat
Islam salah memahami mana yang tradisi Arab dan mana yang ajaran Islam.
Tumpang-tindih antara tradisi Islam dan pure
Islam menjadi agenda yang harus dipikirkan pendidik karena jika terus-menerus
dibiarkan akan menyebabkan tumbuhnya “tradisi-tradisi” yang dianggap ajaran
Islam. Dengan pendekatan ini akan menolong siswa untuk dapat membedakan mana
yang tradisi dan mana yang ajaran Islam sehingga siswa memiliki sikap menghargai
tradisi-tradisi yang berbeda-beda serta melanggengkan tradisi yang baik dan
meninggalkan jika memang tidak perlu diikuti.
Keempat, pendekatan psikologis. Pendektan ini
dimaksudkan bahwa materi pelajaran diberikan sesuai dengan perkembangan
kejiwaan anak didik. Di mana setiap siswa dilihat sebagi manusia yang mandiri
dan unique dengan karakter dan kemapuan yang dimiliki. Dengan pendekatan
ini anak didik menjadi manusia “pembelajar” yang dengan segala informasinya
akan dapat secara progresif mengorganisasikan dan memperkaya apa-apa yang sudah
diketahui dan bukan malah mematikannya. Pendidik dalam hal ini tidak
memperhatikan aspek kognisi dalam keberhasilan intelektual tetapi lebih pada
mengorientasikan pada fakta-fakta yang terjadi di lingkungan sekitar.
Untuk menyiapkan peserta didik di era modern: yang
multi etnik, multi kultural dan multi religius menurut masthuhu pendidikan
harus merubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar problem
solving (pemecahan masalah), dari hafalan ke dialog, dari pasif ke heuristic,
dari penguasaan materi sebanyak mungkin ke penguasaan metodologi, dari mekanis
ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan
menjadi memandang dan menerima ilmu sebagai proses, dan fungsi pendidikan hanya
mengasah dan mengembangkan akal namun mengelola dan mengembangkan hati dan
keterampilan.[133]
Dengan demikian Pendidikan Islam berusaha
mengoptimalkan tiga ranah (kognisi, afeksi dan psikomotor) sekaligus serta
aspek sosial. Proses pembelajaran harus dimaknai sebagai upaya mengantarkan
anak didik untuk berpikir (learning to think), untuk berbuat (learning
to do), untuk menjadi (learning to be), serta untuk hidup bersama
dengan orang lain (learning to live together). Jadi, dalam hal ini
pendidikan agama Islam merupakan proses menyeimbangkan antara kebutuhan
individu dengan kebutuhan sosial-kemasyarakatan.
BAB
V
PENUTUP
Kesimpulan
Sikap yang tepat menurut Abdurrahman Wahid dalam
menghadapi pluralitas masyarakat baik pluralitas agama maupun budaya serta
pluralitas etnik adalah menempatkan setiap kelompok masyrakat setara dengan
kelompok lain dalam hal apapun tanpa ada diskriminasi dan ketidakadilan. Setiap
warga masyarakat mempunyai kedudukan yang sama untuk berpendapat di muka umum,
berkarya, beribadah, serta mendapatkan keadilan tanpa membedakan unsur agama,
suku, jender, dan kewarganegaraan. Tiap kelompok masyarakat mempunyai kedudukan
yang sama dalam hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam membangun Indonesia .
Dengan rasa solidaritas, keterbukaan, toleransi dan dialog kita membangun Indonesia
yang berdudaya dan beradab, aman dan damai.
Menurut Abdurrahman Wahid nilai-nilai universal Islam
lebih penting ketimbang formalisasi Islam yang hanya bersifat
legalitas-simbolis, ia cenderung menutamkan substansi Islam karena dengan
demikian nilai-nilai universal islam tidak hnya milik orang islam tapi juga
milik non muslim seperti: demokrasi, keadilan, persamaan.
Bagi Gus Dur sikap kritis harus tetap dilakukan guna
memberikan masukan bagi perbaikan kehidupan. Ia tidak hanya menggunakan
pemikiran Islam tradisional tetapi keilmuan kesarjanaan Barat, keduanya saling
melengkapi dalam rangka pemecahan masalah umat. Dengan demikian hukum Islam
akan selalu dinamis dan dengan demikian tidak akan kehilangan relevansinya.
Pendidikan merupakan institusi dan media paling
efektif dalam mengelola keragaman tersebut. Fungsi pendidikan tidak lain
merupakan upaya transformasi nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa. Upaya
penanaman niali-nilai kebangsaan dan kemanusiaan harus diupayakan baik di
lingkungan keluarga, masyarakat mapun lingkungan pendidikan.
Pendidikan Islam yang merupakan sub sistem pendidikan
nasional mempunyai andil yang cukup besar dalam upaya transformasi nilai-nilai
religiusitas kepada peserta didik, hal ini harus dimulai dari umat Islam,
mengingat Islam sebagai agama mayoritas. Perubahan paradigma pendidikan Islam
harus dilakukan. Hal ini dikarenakan paradigma yang selama ini dipakai ternyata
lebih membentuk manusia yang egois, tertutup (eksklusif), intoleran, dan berorientasi
pada kesalehan personal. Dalam menghadapi pluralitas masyarakat: multi etnik
dan multi religi yang dibutuhkan adalah paradigma pendidikan yang toleran,
inklusif dan berorientasi pada kesalehan sosial dengan tidak melupakan
kesalehan individual.
Cara belajar pun harus dirubah dari metode ceramah
menjadi problem solving, dari menghafal materi sebanyak-banyaknya menjadi
penguasaan metodologi, dari mekanik menjadi organik, dari memandang ilmu
sebagai hasil final menjadi memandang ilmu sebagai proses yang dinamis.
Pendidik memandang anak didik sebagi pribadi otonom dengan segala potensi yang
dimilikinya sehingga akan tercipta daya kreatifitas peserta didik. Dengan
demikian demokratisasi pendidikan saat ini, dengan menempatkan
kebijakan-kebijakan pendidikan yang
berpihak pada nasib masyarakat di bawah. Dengan demikian pola penyeragaman dari
atasan seharusnya berubah dengan pola yang mengedepankan kebutuhan rakyat
(dalam hal ini siswa) di bawah. Materi pendidikan seharusnya mencakup
nilai-nilai universal yang dimikili agama diantaranya: nilai-nilai persamaan,
keadilan, keterbukaan, kejujuran serta adab sopan santun.
Saran-saran
Penulis menyadari bahwa
skripsi yang dipersembahkan ini masih jauh dari kesempurnaan. Lebih lanjut,
penulis berharap ada kritik dan saran
yang membangun serta adanya tindak lanjut dari penenilitian ini. Penulis
berharap bahwa skripsi yang singkat ini dapat dijadikan renungan bagi semua
pihak untuk melakukan rekontruksi atas kebijakan pendidikan Islam (baik
mengenai metodologi, kurikulum, silabi maupun materi) yang lebih dapat
mengelola kemajemukan masyarakat Indonesia .
DAFTAR PUSTAKA
A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi
Islam di Indonesia, Yogyakarta : LKiS, 1995
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode
Pendidikan Islam, Bandung :
Diponegoro, 1989
Abdurrahman Wahid, Islam di Tengah Pergulatan
Sosial, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1993
, Membangun Demokrasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1999
, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Yogyakarta : Desantara, 2001
, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta :
LKiS, 1999
, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta :
LKiS, 1999
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1999
Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla, Gila Gus Dur:
Wacana Pembaca Abdurrahan Wahid, Yogyakarta :
LKiS, 2000
Ahmad. D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam, cet. 6, Bandung :
Al Ma’arif, 1986
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka
dalam Beragama, Bandung :
Mizan, 1997
Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam
Era Multi Kultural, Yogyakarta : Kurnia
Kalam Semesta, 2002
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi
Penelitian Filsafat Yogyakarta : Kanisius,
1990
Azumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milinium Baru, Jakarta :
Logos, 2002
Endang Saifuddin Ashari, Pokoh-pokok Pikiran
tentang Islam, Jakarta :
Usaha Enterprise, 1976
Greg Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta : LKiS, 2003
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang
Pendidikan Islam, Bandung :
Al Ma’arif, 1980
Kuncoroningrat, Metode-metode Penelitian
Masyarakat, Jakarta :
Gramedia, 1989
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk
Aksi, Bandung :
Mizan, 1991.
Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur diantara
Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta :
Raja Grafindo Persada 1999
Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta : Ar Ruuz, 2004
Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, Jakarta :
Gramedia, 1996
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan
Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner Jakarta : Bumi Aksara, 1994
M. Naquib al-Attas, Filsafat dan Praktik
Pendidikan dalam Islam, Bandung :
Mizan, 1984
, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung : Mizan, 1984
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey, Jakarta : LP3ES, 1989
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam,
Jakarta : Logos,
1999
Moh. Ali, Penelitian Pendidikan: Prosedur dan
Strategi, Bandung :
Aksara, 1987
Muh. Fadlil al-Jamil, Filsafat Pendidikan dalam
al-Qur’an, Surabaya :
Bina Ilmu, 1986
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan
Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung : Trigenda Karya,
1993
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Indonesia, Bamdung: Remaja Rosda
Karya, 2001
Muhaimin dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya : Karya Abditama,
tt
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus
Ilmiah Populer, Surabaya :
Ar Kolah, 1994
Said Tuhelely, dkk, Masa Depan Kemanusiaan, Yogyakarta : Jendela, 2003
Sudiarjo, Dialog Intra Religious, Yogyakarta : Kanisus, 1994
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Praktis, Jakarta : Bina aksara, 1983
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta : Yasbit, Fakultas Psikologi Universitas
Gajahmada
Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik dan
Pendidikan Agama di Indonesia ,
Yogyakarta : Interfidie, 2001
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin
Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1998
Yusuf al Qordlowi, Pendidikan Islam dan Madrasah
Hasan al Banna, terj. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta : Bulan Bintang,
1980
Zainal Arifin Thoha, Kenyelenehan Gus Dur Gugatan
Kaum Muda NU dan Tantangan Kebudayaan, Yogyakarta :
Gama Media, 2001
Zakiah Daradjat, Ilmu pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996
Jurnal, Makalah, Majalah dan Internet:
Abdurrahman Wahid, “Pluralisme Agama dan Masa Depan
Indonesia”, makalah pada seminar agama dan masyarakat, Universitas Kristen
Satya Wacana, Salatiga, 20-November 1992.
Ayang Utriza Nway. “Demokrasi dalam Konteks Piagam
Madinah Arkeologi Demokrasi dalam Islam” dalam Jurnal Tashwirul Afkar edisi
16 tahun 2004, hlm.100
Hifni Muchtar, “Fakta dan Cita-cita Sistem
Pendidikan Islam di Indonesia” dalam Jurnal UNISIA, No.12 Th.xiii, UII
Yogyakarta
http:www//.idea.int/publications/democratization_in_indonesia/indonesian/11_Pluralisme_Agama.pdf
Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 11 tahun 2001
Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 16 tahun 2004
[1] Lorens
Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta:
Gramedia, 1996), hlm. 482
[2] Pius A.
Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Ar
Kolah, 1994), hlm. 604
[3]
Sudiarjo, Dialog Intra Religious (Yogyakarta: Kanisus, 1994), hlm. 33-34
[4]
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung:
Diponegoro, 1989), hlm. 49
[5] Zakiyah
Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 339
[6] Muh.
Fadlil al-Jamil, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an (Surabaya: Bina
Ilmu, 1986), hlm. 3
[7] Ahmad
Syafii Ma’arif, “Pendidikan Islam
sebagai Paradigma Pembebasan”, Muslih Usa (ed.), Pendidikan
Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991)
hlm. 17-25
[8]
Umaruddin Masdar, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 123
[9] Ibid.
[10]
Abdurrahman Wahid, Islam di Tengah Pergulatan Sosial (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1993), hlm.133
[11]
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1999),
hlm.196
[12]
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Yogyakarta : Desantara, 2001), hlm. 180
[13] Alwi
Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung:
Mizan 1997), hlm. 41-42
[14] B.
Munawar Rahman, “Pluralisme dan Teologi Agama-agama Islam-Kristen”, Tn.
Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan
Pendidikan Agama di Indonesia
(Yogyakarta : Interfedie, 2001), hlm.
176-187
[15]
Alwi Shihab, Islam Inklusif…, hlm.
41
[16] Tarbiyah
berasal dari kata robba-yarbuw (tumbuh dan berkembang), ta’lim
berasal dari kata alima-ya’lamu (mengerti atau memberi tanda), ta’dib
berasal dari kata adaba-ya’dibu (berbuat dan berperilaku sopan).
Muhaimin dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Surabaya : Karya Abditama, tt), hlm. 14
[17] Ibid.
[18]
Azumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milinium Baru
(Jakarta : Logos,
2002), hlm. 5
[19] Hasan
Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al
Ma’arif, 1980), hlm. 94
[20] Ahmad
A. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al Ma’arif,
1980), hlm. 23
[21] Yusuf
al Qordlowi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, terj. Bustami
A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 157
[22] Endang
Saifuddin Ashari, Pokoh-pokok Pikiran tentang Islam (Jakarta: Usaha
Enterprise, 1976), hlm. 85
[23]
Azumardi Azra, Pendidikan Islam…, hlm. 5
[24] Ibid., hlm.
8
[25] Ibid.,
hlm. 57
[26] “Dan
berpegangkah kamu sekalian pada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai
berai...”. Al Qur’an surat
Ali Imran ayat 103
[27]
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 135
[28] “Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. Al Qur’an surat al Mujadilah: 11
[29]
“Sungguh telah ada pada diri rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari
kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”. Al Qur’an surat al Ahzab: 21
[30] M.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm.
132
[31] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan…,
hlm. 132
[32] Seperti
dituliskan Muhaimin dan Abdul Mujib metode Pendidikan Agama Islam meliputi:
metode diakronis, singkronis, problem solving, empiris, induktif dan metode
deduktif dan pengaplikasian metode tersebut menggunakan beberapa teknik antara
lain: teknik periklanan dan pertemuan, teknik dialog, teknik bercerita, teknik
metafor, teknik imitasi, teknik drill, teknik ibrah, teknik pemberian janji dan
ancaman, teknik korelasi dan kritik, dan teknik perlombaan. Muhaimin dan Abdul
Mujid, Pemikiran…, hlm. 251-276
[33]
Kuncoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT.
Gramedia, 1989), hlm. 7
[34] Masri
Singarimbun, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 45
[35] Anton
Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 92.
[36] Ibid.,
hlm. 62.
[37]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Praktis (Jakarta: Bina Aksara,
1983), hlm. 132
[38]
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta :
Yasbit, Fakultas Psikologi Universitas Gajahmada, tt), hlm. 37
[39] Moh.
Ali, Penelitian Pendidikan: Prosedur dan Strategi (Bandung: Aksara,
1987), hlm. 16
[40]
Ad-Dakhil yang berarti “penakluk” diambil dari pahlawan dari Dinasti Umayyah
yang berhasil menaklukkan Spanyol adalah nama yang berat untuk anak manapun.
[41] Greg
Barton, “Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam pengantar Prisma Pemikiran Gus
Dur (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. xxxvi
[42] Greg
Barton, Biografi Gus Dur (Yogyakarta : LKiS, 2003), hlm. 25
[43] Enam
bersaudara itu adalah Abdurrahman Wahid (1940), Aishah (1941), Salahuddin
(1942), Ummar (1944), Chodijah (1948), Hasyim (1953).
[44] Jabatan
sebagai Menteri Agama sangat berlawanan dengan yang biasa terjadi dalam ulama
tradisional dan biasanya mereka enggan duduk dalam pemerintahan tetapi yang
terjadi sebaliknya.
[45] Anggota
Panitia sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta itu ialah Ir. Soekarno, Drs.
Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, H. Abikusno Cokrosuyoso, K.H. Abdul Kahar
Muzakkir, H. Agus Salim, Ahmad Soebardjo, KH. A. Wachid Hasyim, dan Mr.
Muhammad Yamin.
[46] Greg
Barton, Biografi…, hlm. 34
[47] Ibid.,
hlm. 40
[48] Ibid., hlm. 53
[49] Zainal
Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur: Demokrasi, Kemanusiaan, dan Pribumusasi
Islam (Yogyakarta : Kutub, 2003), hlm. 53
[50] Ibid.
[51] Greg Barton, Biografi…, hlm.
51
[52]
Greg Barton, Biografi…, hlm. 84
[53] Zainal Arifin Thoha, Jagadnya…, hlm.
53
[54] Greg
Barton, “Memahami…, hlm. xxiv
[55] Lihat Gus Dur dalam Sorotan Cendikiawan
Muhammadiyah (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 61
[56] Greg
Barton, “Memahami…, hlm. xxxvii
[57] Gus Dur dalam Sorotan…, hlm. 61
[58] Greg
Barton, “Memahami…, hlm. xxv
[59] Laode
Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1999), hlm. 70
[60] Greg
Barton, “Memahami…, hlm. xxv
[61] Laode
Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur…, hlm. 77-78
[62]
Merupakan gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap
modernitas, perubahan dan pembangunan. Bahkan aliran ini kritis terhadap dampak
modernitas dan tidak melihat Barat sebagai ancaman bagi dunia Islam namun
antara keduanya saling mengisi. Neo- modernis juga mengedepankan sikap
inklkusif, toleran dan liberal serta selalu melakukan kontekstualisasi ajaran
Islam. Lihat dalam Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais
tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 121-122
[63] Ibid.
[64] Greg
Barton, “Memahami…, hlm. xxx
[65] Doktrin ahlusunnah wal
jama’ah: tawwatsuh (moderat), tasamuh (toleransi), dan i‘tidal
(adil) dalam berinteraksi dengan orang lain.
Gus Dur lebih menekankan pada penggunaan metodologi (manhaj), teori
hukum (ushul al fiqh) dan kaidah-kaidah hukum (qowaid fiqhiyyah)
dalam kerangka pembuatan sintesis untuk menelorkan gagasan baru sebagai upaya
menjawab perubahan-perubahan aktual.
[66] Agama
mempunyai kontribusi yang berpengaruh terhadap dinamika kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat, trut claim atas nama agama sering dijadikan alasan kuat
terjadinya konfik yang berkepanjangan missal: dari kerusuan Poso, Ambon dan
berbagai daerah di Indonesia .
Hal ini memerlukan solusi dan perhatian dari berbagai pihak baik pemerintah
maupun masyarakat (tokoh agama, tokoh masyarakat), dengan harapan kerusuan dan
konflik tidak terjadi lagi. Kerusuhan dan kekerasan dengan mengatasnamakan
agama atau dengan alasan apapun sangat bertentangan dengan nilai-nilai normatif
yang ada dalam agama. Bukti ini menunjukkan bahwa masing-masing pemeluk agama
belum secara penuh mengaplikasikan ajaran agamanya dalam kehidupan bermasyarakat.
Semua agama melarang kekerasan, pembunuhan serta menganjurkan sikap toleransi
dan kasih sayang.
[67]
Umaruddin Masdar, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 139
[68] Ibid.,
hlm. 145
[69]
Abdurrahman Wahid, “Pluralisme Agama dan Masa Depan Indonesia”, makalah pada
seminar agama dan masyarakat, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,
20-November 1992. Umaruddin Masdar. Membaca Pemikiran…, hlm. 145
[70]
Islamisasi bukan proses Arabisasi tetapi Islamisasi lebih mengutamakan pada
manifestasinya nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Selama ini proses Islamisasi belum dipahami
betul oleh sebagian besar kaum muslim, hal ini terlihat misalnya: kata
“saudara” tidak perlu diganti “ikhwan”, “langgar” diganti “mushola”,
“sembahyang” diubah menjadi “shalat”. Hal ini terlihat bahwa proses Islamisasi
baru pada visualisasi: ketidak-pedean umat Islam.
[71]
Umaruddin Masdar, Membaca Pemikiran…, hlm. 141
[72]
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Depok: Desantara,
2001), hlm. 117
[73] Ibid.,
hlm 118.
[74]
Pribumisasi Islam bukanlah “Jawanisasi”, sebab Pribumisasi Islam hanya
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama,
tanpa mengubah hukum itu sendiri. Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara…,
hlm. 119
[75] Ibid.
[76]
Umaruddin Masdar, Membaca Pemikiran…, hlm. 140
[77]
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara…, hlm. 130
[78] Kongres
kebudayaan yang diprakarsasi oleh departemen pendidikan dan kebudayaan
menunjukan adanya campur tangan birokrasi pemerintah terhadap originalitas
kebudayaan itu sendiri. Budaya sebagai hasil kreatifitas pemikiran manusia
sebaikanya dibiarkan berkembangan sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu
pengetahuan. Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara…, hlm. 5-9
[79] Ibid.,
hlm. 4
[80] Greg
Barton, “Memahami Abdurrahman Wahid”, dalam pengantar Prisma Pemikiran Gus
Dur (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm xxxvi.
[81] Zainal
Arifin Thoha, Kenyelenehan Gus Dur Gugatan Kaum Muda NU dan Tantangan
Kebudayaan, (Yogyakarta : Gama Media,
2001), hlm. 205-206
[82] Ibid.
hlm. 207
[83]
Abdurrahman Wahid. Pergulatan Negara…, hlm. 85
[84] Agama
hanya berfungsi suplementer dan hanya menyediakan sarana bagi proses perubahan
sosial, bukan agama yang membuat perubahan itu. Dunia berkembang menurut
menurut pertimbangan dunia itu sendiri. Agama hanya mempengaruhi sejauh dunia
itu siap dipengaruhi, tidak lebih dari itu. Begitu agama mengubah dirinya
menjadi penentu, tidaklah hanya mempengaruhi tetapi menentukan, maka dia
(agama) telah menjadi duniawi. Kalau hal ini yang terjadi pada gilirannya ia
bisa mengundang sikap represif (agama berusaha mempertahankan dirinya).
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999),
hlm. 167.
[85] Ibid., hlm. 38
[86]
Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999), hlm. 85
[87]
Abdurrahman Wahid, Prisma…, hlm. 199
[88] ICMI
yang merupakan organisasi buatan pemerintah yang kebijakannya banyak dimonopoli
oleh pemerintahan Soeharto ketika itu.
[89] Fordem
sebagian besar beranggotkan orang-orang non-muslim, sehingga kedekatan Gus Dur
dengan orang non-muslim banyak dicurigai oleh tokoh Islam sendiri. Ia dikatakan
agen zionis, membela non muslim dan dianggap menghancurkan Islam. Jawaban yang
dikemukakan Gus Dur menjawab tuduhan itu sangat senderhana: saya justru berpegang
pada al Qur’an dan Hadits Nabi bahwa, al Qur’an menekankan pentignya
perlindungan pada kelompok-kelompok minoritas, termasuk orang Kristen dan
Konghucu. Lihat Abdurrahman Wahid, Membangun…, hlm. 28
[90]
Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta :
Ar Ruuz, 2004), hlm. 72.
[91]
Abdurrahman Wahid, “Agama dan
Demokrasi”, A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi
Islam di Indonesia
(Yogyakarta: LKiS, 1995), hlm. 111.
[92]
Umaruddin Masdar, Membaca Pemikiran…, hlm.147
[93]
Abdurrahman Wahid, Prisma…, hlm. 202
[94]
Abdurrahman Wahid, Membangun..., hlm. 115
[95]
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999),
hlm. 190
[96]
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara…, hlm. 180
[97]
Abdurrahman Wahid, Membangun…, hlm. 86
[98] Pius A.
Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Ar
Kolah, 1994), hlm. 604
[99] Depag RI ,
Al Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: CV. Al-Waah, 1989), hlm. 644
[100] Ibid., hlm. 168
[101] Ibid.,
hlm. 847
[102] Ibid.,
hlm. 62
[103] Ibid.,
hlm. 847
[104] Piagam
Madinah menunjukkan bukti bahwa nabi konsisten dalam menjunjung nilai-nilai
demokrasi. Perlindungan terhadap warga masyarakat menjadi perhatian bagi nabi
termasuk kebebasan memeluk agama dan beribadah. Sikap toleransi terhadap agama
lain mewarnai perkembangan Islam saat itu.
[105]
Ayang Utriza Nway, “Demokrasi dalam
Konteks Piagam Madinah Arkeologi Demokrasi dalam Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 16 Tahun 2004, hlm.100
[106]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan,
1991), hlm. 299.
[107]
Muqowim, “Shifting Paradigm Pendidikan
Islam dalam Masyarakat Plural”, Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru Studi
Islam dalam Era Multi Kultural (Yogyakarta :
Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 352
[108]
M. Jadra, “Pluralisme Baru dan Cinta
Kebangsaan”, Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru…, hlm 289
[109]
Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia , (Yogyakarta :
Interfidie, 2001), hlm. 255
[110]
M. Jadra, “Pluralisme…, hlm.
295
[111]
Kasus kekerasan dan kerusuhan terjadi karena berawal dari adanya perbedaan cara
pandang sepihak yang menganggap pihak lain sebagai lawan, keliru, dan harus
dilawan. Muqowim, “Shifting…,
hlm. 346
[112]
Zakiyuddin Baidhawy, “Pendidikan Agama
Berwawasan Multikultural”, Jurnal
Tashwirul Afkar, Edisi 16 Tahun 2004, hlm. 114
[113]
Munir Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan
Islam”, Jurnal Tashwirul
Afkar, Edisi 11 Tahun 2001, hlm. 17-25
[114]
Muhammad Naquib al-Attas menyebut pendidikan Islam sebagai konsep yang meliputi
konsep agama (din), konsep manusia (insan), konsep ilmu (‘ilm dan
ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), konsep keadilan (adl), konsep
amal (amal sebagai adab), serta konsep perguruan tinggi (kulliyatul jami’ah).
Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam (Bandung: Mizan,
1984), hlm.8.
[115]
Hifni Muchtar, “Fakta dan Cita-cita
Sistem Pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal UNISIA, No.12 Th.XIII, (UII
Yogyakarta), hlm. 52.
[116]
Suyata, “Penataan Kembali Pendidikan
Islam pada Era Kemajuan Ilmu dan Teknologi”, Jurnal UNISIA, No.12
Th.XIII, (UII Yogyakarta), hlm. 23
[117]
Sumartana, Pluralisme…, hlm. 252
[118]
Perbedaan asumsi dasar filosofis tersebut besar sekali implikasinya dan
konsekuensinya dalam menyusun muatan materi, silabi, kurikulum pendidikan
agama-agama di sekolah-sekolah.
[119]
Jarang ditemukan bahkan hampir tidak ada tulisan Abdurrahman Wahid yang
membahas dunia pendidikan secara rinci namun kebanyakan tulisannya ditujukan
kepada keislaman dan kemasyarakat serta kebudayaan baik itu mengenai demokrasi
maupun HAM.
[120]
Sumartana, Pluralisme…, hlm. 228
[121]
Kebijakan MUI tentang pengharaman “selamat natal” kepada umat Nasrani merupakan
bukti masih nampaknya pemahaman keagamaan yang eksklusif di kalangan muslim.
Lantas apakah dengan ucapan selamat natal atau selamat idul fitri menjadi
seseorang pindah agama. Padahal penciptaan iklim yang damai dan aman lebih
penting dari itu semua.
[122]
Hal ini pernah terjadi pada penulis ketika melakukan PPL II di sekolah negeri di
Yogyakarta di mana materi yang harus
disampaikan harus sesuai dengan pemahaman
keagamaan guru sekolah padahal penulis tahu bahwa siswa beraneka ragam.
[123]
Amin Abdullah, “Pengajaran Kalam dan
Teologi di Era Kemajemukan: sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama”,
Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 11
Tahun 2001, hlm. 13
[124]
Selalu mengambil kebijakan dengan pikiran dingin dan kearifan budi pekerti
serta dilandasi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia yang selalu bisa
mengunakan nalrnya secara benar dan obyektif dan menentukan pilihan tepat dan
menolak cara kekerasan. Kecerdasan dan kearifan bersumber dari daya kritis dan
kesadaran atas nilai diri dan sosial, sehingga tumbuh kepedulian pada sesama.
[125]
M. Naquib al Attas, Filsafat…, hlm. 189
[126]
Tradisi behaviorisme mencerminkan proses pembelajaran dari perubahan
tingkah laku dari belum tahu menjadi tahu. Maka materi pelajaran disusun
berdasarkan hirarki dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Anak didik
bagaikan mesin “poto copy” yang harus
mengikuti apa yang dikehendaki guru.
[127]
Tradisi ini menunjukkan bahwa perkembangan intelektual manusia mengalami
beberapa tahapan. Maka dianjurkan cara penyampaian materi pelajaran disesuaikan
dengan tingkat perkembangan intelektual peserta didik.
[128]
Tradisi ini belum secra keseluruhan diterapkan di lembaga pendidikan di Indonesia
karena memerlukan biaya yang mahal. Tradisi information processing memerlukan
sarana komputer.
[129]
Leo Sutrisno, “Pluralisme, Pendidikan
Pembelajaran dalam Tradisi Kontruktivisme”, Th. Sumartana, Pluralisme
Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2001),
hlm. 210
[130] Ibid.,
hlm. 211
[131]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), hlm. 47
[132] Ibid., hlm. 39
[133]
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999),
hlm. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar anda di sini